Berita Dan Informasi

 

  BERITA DAN INFORMASI

                      DIALOG: WAWANCARA, ANALISIS, INFORMASI DAN BERITA PERADABAN

Home      Politik     Ekonomi     Hukum     Sosial     Pendidikan     Realitas    Atsaqofiyah

 

                                     REPORTASE

* EKONOMI PEMILIKAN DI TENGAH REALITAS

** ISLAM, POLITIK PEMERINTAHAN DAN NEGARA

*** ISLAMIC SOCIETY VS CIVIL SOCIETY

ISTAC: ISLAMIC THOUGHT AND CIVILIZATION

 

 

* EKONOMI PEMILIKAN DI TENGAH REALITAS

 

Wawancara Realitas bersama narasumber :

 

              Pemilikan merupakan salah satu problem utama sistem ekonomi, selain penganggaran dan distribusi. Masalah tersebut dan solusinya tergantung kepada ideologi masing-masing. Sistem ekonomi pemilikan kapitalisme telah merumuskan tersendiri terhadap keabsahan dan ketidakabsahan pemilikan, yaitu dengan mendasarkannya pada asas manfaat dan pemisahan agama dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk memisahkan sistem ekonomi. Kenyataannya azas ini melahirkan eksploitasi dan imprealisme gaya baru dari para kapitalis kepada kaum yang lemah, menguntungkan sebagian kecil dan menindas sebagian yang lain. Karena pemilikan menurut mereka tidaklah memandang halal dan haram. Namun melihat apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak bermanfaat secara materi semata.

               Ironisnya, tidak sedikit di kalangan umat Islam merasa comfortable dan mempertahankan ekonomi pemilikan kapitalistis ini. Padahal, masalah ekonomi sesungguhnya amat terkait dengan pencapaian kesejahteraan yang hakiki, baik materi maupun ruhiyah. Lalu, bagaimanakah kenyataan sebenarnya dari penerapan sistem ekonomi pemilikan sekularistis-kapitalistis itu? Dan apakah akar budaya masyarakat (yang mayoritas muslim) adalah tidak berasaskan halal-haram? Ataukah sebaliknya, yang tergantung terhadap asas halal-haram di dalam pemilikannya?

Realitas  mengangkat permasalahan tersebut yang disajikan dalam hasil wawancara dengan beberapa nara sumber yang berkompeten, yang dapat menunjukkan konstelasi pendapat di dalam masyarakat.  Disajikan pula hasil survei dari tim data dan riset untuk menajamkan pembahasan tema Reportase Realitas kali ini.  


               Reportase Realitas menyajikan wawancara dengan Bapak Iwan Triyuwono, seorang yang sangat perhatian dengan masalah ekonomi syariah dan aktif di berbagai lembaga penelitian, juga sebagai dosen di Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang. Berikut petikan wawancaranya.

  Iwan Triyuwono  

Realitas:  Terkait dengan akar budaya masyarakat Islam Indonesia , berkembang di tengah-tengah masyarakat kita  berbagai model  kepemilikan ekonomi/harta atau mencari nafkah yang bermacam-macam. Tetapi pada hakekatnya kecenderungan masyarakat kita adalah menginginkan harta yang halal dan diperoleh dengan cara yang halal pula. Jadi masyarakat kita sangat peduli dengan asas halal dan haram. Itu artinya mereka berusaha untuk terikat dengan sistem ekonomi Islam. Bagaimana komentar Bapak?

Iwan Tri: Ya, Oke! Kalau saya perhatikan sebenarnya ada dua hal yang perlu dicermati, Yang pertama sistem ekonomi itu sendiri secara struktural. Kemudian yang kedua diri pribadi masyarakat kita sendiri. Jadi kalau kita menginginkan transaksi dagang, bisnis, ekonomi, yang jelas halal dan haramnya, ya dua hal itu! Hal pertama sistem; memang sistem ekonomi itu adalah sesuatu yang di luar diri manusia yang juga akan mempengaruhi diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu kalau kita menginginkan bisnis yang halal maka sistemnya juga harus sedemikian rupa sehingga nanti bisa mengarahkan dan meng-inforce masyarakat itu untuk melakukan transaksi yang halal. Kalau dari aspek keuangan kita memang sering membicarakan sistem ekonomi yang ada sekarang menggunakan sistem riba. Nah, dari aspek itu kita tentunya akan menciptakan sebuah sistem ekonomi tanpa bunga tanpa riba sehingga nanti masyarakat akan melakukan transaksi keuangan yang tanpa melibatkan riba, ini adalah salah satu contoh kecil dalam sistem perekonomian. Aspek-aspek yang lain semacam itu perlu dibangun dan diimplementasikan di dalam sebuah sistem. Kemudian juga faktor eksternal di luar sistem itu juga ada suatu lembaga yang kira-kira bisa mengawasi. Kalau di masa Nabi dulu dan para sahabat, lembaga itu dinamakan al hisbah, jadi al hisbah itu yang melakukan pemeriksaan keuangan atau memantau apakah praktek bisnis yang dilakukan oleh umat Islam itu sesuai dengan syariah atau tidak. Kalau tidak sesuai, mereka akan mendapatkan sanksi. Sehingga lembaga ini akan memastikan apakah sistem itu tadi dipraktekkan oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat disini adalah masyarakat produsen dan konsumen. Faktor internal adalah diri masyarakat sendiri, yang sebagian besar adalah umat Islam. Tetapi apakah mereka mau menggunakan sistem Islam dalam dunia bisnis, sehingga sistem tadi benar-benar jalan. Kalau kita memang ingin menggunakan sistem ekonomi yang jelas halal-haramnya itu diperlukan kesiapan dari diri kita sendiri, sehingga kalau dari masyarakat siap, dan dari eksternal yakni pemerintah dengan peraturannya juga siap maka ini akan sangat kondusif untuk terciptanya sebuah lingkungan ekonomi yang berdasarkan syari'ah Islam.

Realitas: Sebuah kenyataan yang menggembirakan, sekarang ini banyak bermunculan bank syariah, baik atas inisiatif  pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri, ada bank-bank syariah, BPR syariah dan BMT-BMT. Fakta dilapangan semacam ini sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa keinginan masyarakat menghendaki sistem ekonomi Islam yang tentunya mereka mengharapkan mengarah pada pencarian harta yang halal dan bersih dari keharaman. Fakta ini mengidentifikasikan bahwa masyarakat dapat menerima dan bahkan sangat merindukan model ekonomi syariah Islam. Menurut Bapak, apakah dapat dipahami demikian?

Iwan Tri:. Memang ada sebagian masyarakat yang tertarik untuk menggunakan sistem syariah, tetapi bukan berarti seluruh masyarakat Indonesia menginginkan hal tersebut. Dalam konteks umat Islam masih diperlukan kesadarannya.

Realitas: Yang saya bisa tangkap dari penjelasan Bapak, untuk mensosialisasikan bank syariah itu perlu menyadarkan pelaku atau bankirnya dan masyarakat secara umum. Jadi perlu penyadaran dulu. Tetapi secara hukum yang kita pakai tetap sistem ekonomi syariah itu?

Iwan Tri: Saya sepakat secara normatif bahwa sistem syariah itu adalah sistem yang lebih adil dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan apakah masyarakat itu muslim atau bukan. Karena kita tahu bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamien. Apabila ada bank syariah yang tidak memberikan pelayanan yang baik berarti ia telah melanggar sayriat itu sendiri. Ia tidak menciptakan rahmat. Jadi kalau sama-sama komitmen terhadap syariah saya yakin hal itu bisa diterapkan. Cuma problemnya sekarang, bagaimana kita menterjemahkan simbol-simbol normatif dalam agama itu menjadi suatu yang riil, menjadi nyata dalam praktek? Suatu contoh misalnya, kalau Islam itu rahmatan lil ‘alamien, bank syariah itu harus memberikan pelayanan yang baik, itu adalah bank syariah sebenarnya, dan itu yang perlu kita kembangkan.

Realitas: Menyangkut amandemen UUD 1945, yaitu pasal tentang ekonomi negara disusun atas azas kekeluargaan. Sebagian pakar ekonomi kita menyatakan tidak perlu mengubah isi pasal itu dengan alasan dalam rangka membendung eksploitasi dan eksplorasi kapitalisme Amerika dan Eropa terhadap kekayaan kita. Jadi dengan azas kekeluargaan itu tadi diharapkan mampu membendung ekspansi dan penjajahan ekonomi dari negara-negara kapitalis. Padahal kalau kita lihat faktanya, perekonomian kita itu menghasilkan perkonomian yang jelek. Yaitu munculnya KKN, kemudian ternyata kita juga terjerat pada hutang-hutang luar negeri yang sangat memberatkan negara dan membebani rakyat. Di Amerika dan Eropa ekonomi mereka berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme yakni aqidah, syariah dan hukumnya itu menggunakan kapitalisme, karena memang penduduk di Amerika itu memeluk ideolagi kapitalis Bagaimana pendapat Bapak jika ekonomi kita ini dibangun diatas idelogi seperti Amerika itu (idelogi kapitalisme) yaitu aqidah, syariah dan hukum dalam sistem ekonominya memakai sistem kapitalisme, yang faktanya memang masyarakat kita sekarang menggunakan sistem kapitalisme. Apakah semacam ini akan tetap dipertahankan? Atau apakah sebaliknya bahwa ekonomi Indonesia dibangun berdasarkan aqidah, syariah dan hukum Allah SWT berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah?

Iwan Tri: Apapun namanya, (seharusnya) yang dipraktekkan di Indonesia dan idealnya di seluruh dunia itu yang digunakan adalah sistem yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Karena Islam begitulah yang akan memberikan rahmat kepada seluruh alam. Kalau sistem kapitalisme saya tidak sepakat! Sistem kapitalisme itu mengandung nilai egoisme yang tinggi. Kalau kita melihat sifat akumulasi modal itu berkaitan dengan sifat eksploitatifnya, sifat ekspansinya.  



                Didin S Damanhuri

Wawancara dengan Bapak Didin S. Damanhuri, seorang guru besar ekonomi IPB. Beliau ditemui Realitas di sela-sela kesibukannya di Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kalibata Jakarta.

Realitas: Kalau kita lihat dari akar budayanya, masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam, masih memegang teguh prinsip atau asas halal dan haram, misalnya ketika umat Islam di negeri ini menolak sistem perjudian. Bagaimana menurut Bapak terhadap fenomena?

Didin S.: Persoalannya kan, halal-haram ini kan tergantung juga pemahaman teologi kita, karena di kalangan umat Islam sendiri, saya masih melihatnya itu, persepsi tentang halal haram itu masih dipahami dalam fikih yang tertentu. Misalnya begini, siapa yang bisa menjamin bahwa uang beredar di negara-negara yang menerima bantuan itu adalah bukan dari money laundring, yang notabene itu dari hasil katakanlah suatu perdagangan obat bius ataupun dari kompleks pelacuran tingkat tinggi di suatu negara, tidak ada yang tahu. Nah, jadi memang ini sekarang mungkin perlu suatu penafsiran teologis yang tajam, yang memahami problem yang kompleks sekarang ini karena kalau itu pendekatannya menjadi sempit, kita terjebak pada satu pemahaman halal-haram dalam pengertian yang sangat kasat mata sementara halal haram yang jauh lebih kompleks dalam kaitan dengan ekonomi global yang sudah sangat globalize ini, itu menjadi tidak jelas. Oleh karena di samping dibutuhkan suatu pemahaman baru yang membuka masukan dari kalangan ahli yang memahami ekonomi yang kompleks sekarang ini, kalangan ahli hukum Islam ini, dengan keterbukaan itu, nanti kita harus memilah skala prioritas transformasi masyarakat ke arah proses Islamisasi.

Realitas: Apakah itu artinya kita harus melihat sistem/syari’at Islam itu secara makro….?

Didin S.: Iya. Jadi gini, makro-mikro ini jangan ditimpangkan, pemahaman kita sebagai umat. Karena gini, kompilasi hukum-hukum Islam yang sudah menjadi kitab kuning, yang  notabene itu masih sangat dominan dipakai sebagai visi umat Islam yang Indonesia khususnya, itu adalah…, walaupun saya bukan ahli di bidang itu, …adalah kompilasi dari kalangan fuqaha masa lalu, baik itu ijma’, qiyas, maupun perorangan; ijtihad perorangan. Itu untuk menjawab tantangan masa lalu, sekarang tantangannya luar biasa berbeda, itulah yang dimaksud bahwa mikro-makro itu harus diseimbangkan, karena kalau hanya berpedoman fikih didasarkan kepada buku kuning yang sudah terkompilasi masa lalu langsung ditafsirkan ke problem mikro yang spesifik seperti itu yang memang sepertinya ada dasarnya, sementara masalah makronya kita lupakan lalu kita apa… jadinya, berapa banyak yang harus kita bakar nanti? sementara akar persoalan tidak pernah terselesaikan. Itu yang saya maksud.

Realitas: Fenomena munculnya bank-bank syariah, sedikit banyak menunjukkan adanya keinginan yang kuat pada masyarakat kita untuk kembali lagi kepada azas syariat ekonomi Islam , dalam sistem perekonomian masyarakat kita yang sangat sejalan dengan akar budaya serta keyakinan mayoritas masyarakat kita di negeri ini. Bagaimana Bapak mengomentari masalah ini?

Didin S.: Begini, dari situ pula saya ingin menjawab, saya diundang dan saya melontarkan pendapat di kalangan aktivis bank syariah ini, bahwa saya pernah gambarkan bagaimana kompleksitas tantangan umat Islam, bahkan tantangan umat manusia sebetulnya. Itu.., bank syariah finance, dan entry point yang bagus, karena sekarang ini, bubble econonomy atau ekonomi ribawi ini memang menghantui dunia sekarang, tapi entri point bank syariah bukan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan. Di tingkat mikro banyak BMT, BPR syariah, mungkin bank muamalat atau di tingkat negara lain, misalnya di Malaysia di semua negara, mungkin menyelesaikan bagian dari suatu persoalan, tapi the whole problem masih jauh. Bukan berarti itu keliru, itu memang bagus, dan kita harus mulai, tetapi jangan puas hanya dengan itu, bahkan ironinya bisa juga terjadi, bahwa bank muamalat ada, tapi saking kesulitannya, dia  dengan berbagai kriteria, situasi makro yang tidak kondusif, umat Islam yang tidak siap, apa yang terjadi? Itu outstanding kredit dari bank muamalat disalurkan  ke konglomerat-konglomerat, jadi tajamnya bisa saja bank syariah itu memperkuat proses pemarjinalan ekonomi kecil-menengah, bisa terjadi begitu kalau kita tidak berpikir komprehensif, tapi fine kalau itu harus dimulai, itu bagus. Tapi problem lain itu masih banyak dan karena persoalan kompleksitas dehumanisasi ini, sudah mengancam peradaban manusia, khususnya juga peradaban umat, hanya mencanangkan bahwa dirinya sendirilah yang akan menyelesaikan, itu menurut saya tidak realistis, ini problem manusia keseluruhan. Umat Islam seolah-olah sekarang berada dalam suatu kegelapan jahiliyah baru, yang bukan hanya menyangkut umat Islam saja, umat manusia secara keseluruhan sekarang ini. Jadi ada blind psicology, di kalangan barat sekali pun yang kebingungna dengan bubble economy, ekonomi balon ini. Di mana perdagangan barang sektor  riil, satu tahunnya hanya 7 triliun dollar, itu tahun 1995, tapi perdagangan uang satu hari ada 7 triliun dollar, bayangkan! Nothing suatu negara, jangankan Indonesia, Inggris pernah hilang sekitar 1ima belas, sekitar milyar dollar begitu, hanya dalam seminggu, hanya karena ulah fund manager ini. Jadi ini masalah jangka panjang, masalah generational, tantangan energi Al Qur’an untuk dikonfrontasikan kepada problem bubble economy yang menghantui umat manusia ini. Dan ini sekarang bukan hanya problem di Indonesia, problem di mana-mana, di Amerika, di seluruh dunia. Nah, sekarang ini kita harus menyusun suatu agenda baru di dalam membawa energi Al Qur’an untuk memecahkan problem umat Kita harus menciptakan aliansi strategis, untuk memecahkan masalah-maslah problem umat manusia, karena penganut agama apa pun menjadi korban proses dehumansasi yang bersifat global.  



   Suroso Imam Zadjuli

Selanjutnya, di bawah ini merupakan hasil wawancara Realitas dengan Bapak Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, SE. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya.

Realitas: Akar budaya mayoritas masyarakat Indonesia sangat peduli dengan ekonomi pemilikan Islam. Salah satu bukti bahwa pada umumnya masyarakat mengenal penolakan model pemilikan melalui transaksi perjudian dengan segala ragam dan macamnya. Mereka menginginkan harta yang halal dan diperoleh dengan cara yang halal pula. Setidaknya hal ini mengidikasikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya menghendaki ekonomi yang berdasarkan halal dan haram; yaitu syariat Islam. Bagaimana menurut Bapak?  

Suroso Imam Zadjuli : Ya, jadi masalah ekonomi yang sekarang ada itu adalah sistem yang disusun oleh para ahli, maupun oleh manusia atau pemikir atau filosof-filosof barat yang notabene filosof-filosof barat dibidang ekonomi itu adalah filosof-filosof sekuler. Ya maka munculah macam-macam sistem ekonomi, merkantilis, kemudian, klasik, neoklasik  kemudian orde strukturalis, sosialis, kemudian post industrial state economic, kemudian ekonomi terpimpin dunia ketiga dan mixed economic dan lain sebagainya. Jadi paling tidak--juga aturan main sistem yang disusun oleh manusia itu yang kemudian diterapkan oleh, dalam berbangsa dan bernegara disatu sisi sistem ekonomi dianut aturan mainnya tidak dipenuhi satu dengan yang lain karena perbedaan kepentingan maka sistem itu gagal.

Realitas: Kita kembali kepada persoalan ekonomi tadi Pak Roso, dari yang dipaparkan Bapak tadi dapat di ambil kesimpulan bahwa sistem ekonomi yang di anut negeri ini telah gagal dan harus diganti ?

Suroso Imam Zadjuli : Jadi di sini sepuluh macam sistem ekonomi di dunia pernah dicoba dan gagal, dari sistem ekonomi klasik, neo klasik, merkantilisme, orde stukturalis, kapitalis, sosialis komunis, sistem ekonomi berencana dunia ketiga ini pernah diterapkan oleh India, Pakistan dan Mesir, Meksiko dan Indonesia periode 68 - 70, Monetery orde, bahwa segala permasalahan ekonomi bisa dihendel atau dicarikan jalan keluar dari masalah fiskal dan moneter--seperti sekarang ini dengan monetery order IMF. Orde strukturalis hasilnya adalah pengangguran secara struktural yaitu dari sektor primer ke sekunder ketersier. Sistem ekonomi campuran (mixed Economy) seperti Indonesia, orang berlindung pada peraturan-peraturan yang kuat tetapi menyelundupi peraturan-peratuan yang lemah jadi orang yang memiliki duit itu yang akan menang. Kemudia yang terakhir post industrialized economic semua gagal. Kemudian dengan cara begitu orang mulai mencari way out (jalan keluar) dari stagnasi ekonomi.ada beberapa negara republik Islam Iran, Pakistan dan Malaysia lebih mengarah ke sistem ekonomi Islam untuk keluar dari sebagian atau seluruh permasalah-permasalahan pembangunan. Kemudian yang masuk kedalam religius economic itu diantaranya ya Indonesia ini yang mayoritas Islam, telah mengadopsi norma-norma ekonomi sekuler tapi diterapkan oleh negara yang agamis yang berpancasila ini nggak cocok. Contoh ketika hendak mendirikan hotel harus ada night clubsnya, harus ada fitnes centrenya, kolam renangnya terbuka, bilyartnya dan sebagainya, kemudian tempat ibadah dibawah tangga atau dipojok-pojok kecil.

Kalau dengan cara seperti itu maka tidak dimosi oleh masyarakat sekelilingnya. Jadi tidak heran jika dalam masyarakat yang agamis diterapkan kegiatan yang bentuknya sekuler, maka akhirnya banyak hotel yang dibakar masa. Ditempat yang agamis dimasukkan sistem sosial politik yang sekuler jadi akhirnya nggak cocok. Itu yang perlu diingat maka kita harus back to religi (kembali ke agama).


Survey & Riset

Reportase Realitas juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Data dan Riset Realitas dengan tema ekonomi pemilikan. Penelitian dilakukan mulai tanggal 10 sampai dengan 25 Juni 2001 dengan menyebarkan kuesioner di wilayah Jabotabek, Bandung, Semarang, Solo, Cilacap, Boyolali, Sukaharjo, Karanganyar, Jepara, Wonogiri, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Jombang, Malang, Surabaya, Gresik, Lamongan dan Jember, Madura, Banyuwangi. Penelitian dilakukan terhadap 700 responden, dengan tingkat pendidikan responden: SMU, S1, S2 dan S3. Responden diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang disediakan di dalam formulir riset. Berikut hasil penelitian Tim Data dan Riset kami.

           Penelitian yang paling awal dilakukan adalah menyangkut fakta budaya hukum waris Islam. Responden diminta untuk memberikan tanggapan terhadap fakta yang ada di masyarakat, yang sejak dulu hingga saat ini sangat terbiasa dan konsekuen dalam masalah harta pusaka ‘waris’ dengan menjalankan sistem pembagian waris sesuai dengan syariat Islam, yang hal itu menunjukkan bahwa masyarakat di negeri ini tidak asing dan terbiasa dengan hukum Islam. Ternyata, dari sekitar 674 responden, sejumlah 418 atau sekitar 62,02% menyatakan tepat dan setuju terhadap fakta tersebut. Sedangkan yang memilih ‘tidak tepat dan tidak setuju’ adalah sebanyak 10,68% atau 72 orang. Yang menyatakan sebagian tepat dan sebagian setuju terhadap pernyataan itu sebanyak 170 orang atau sebesar 25,22%. Sisanya, sebesar 2,08% atau sekitar 14 orang memilih abstain/tidak tahu, (lihat grafik 1).  

             Grafik 1. Fakta Hukum Waris Islam

                  

     A      B     C      D          

  • A--> Tepat dan setuju sekali (62,02 %)

  • B--> Tidak tepat dan tidak setuju (10,68 %)

  • C--> Sebagian tepat dan sebagian setuju (25,22 %)

  • D--> Abstain/tidak tahu (2,08 %)

Dari data ini terbukti bahwa masyarakat negeri ini sebenarnya telah terbiasa dan tidak asing terhadap syariat Islam dalam masalah pemilikan melalui bentuk hukum waris Islam.

Berikutnya, penelitian diarahkan untuk mengetahui pendapat masyarakat mengenai fakta transaksi riba, di mana praktik sistem riba baik yang tradisional melalui rentenir/lintah darat, maupun yang modern yaitu lewat perbankan kapitalistis merupakan realitas yang terus berkembang di masyarakat, yang notabenenya mayoritas muslim. Dari seluruh responden, sekitar 3,56 % yakni sekitar 24 orang berpendapat halal dan perlu. Persentase terbesar yaitu 54 % atau sebanyak 364 orang menjawab haram dan perlu dihentikan. Sementara sebanyak 264 orang atau sebesar 39,17 % menyatakan perlu alternatif lain yang lebih baik. Yang menjawab abstain/terserah sekitar 3,26 % atau sebanyak 22 orang, (lihat grafik 2).

Grafik 2. Fakta Transaksi Riba

     A       B       C       D       

  • A --> Halal dan perlu  (3,56 %)

  • B --> Haram dan perlu dihentikan (54,00 %)

  • C --> Perlu alternatif lain yang lebih baik (39,17 %)

  • D --> Abstain/terserah (3,26 %)

Data ini juga menunjukkan betapa masyarakat sesungguhnya menolak sistem riba dalam bentuk apa pun untuk diterapkan dan dikembangkan dalam kehidupan. Selanjutnya, responden ditanyakan tentang fakta transaksi judi. Responden dimintai pendapatnya terhadap perjudian dengan segala modelnya dan masalah siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab untuk mengatasinya. Hasilnya, 30 orang atau sekitar 4,45 % responden menjawab ‘dibiarkan saja itu urusan individu’. Sebanyak 594 orang atau sekitar 88,13 % menjawab bahwa negara dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk menghentikannya. Yang menjawab dilokalisasi saja adalah sebanyak 50 orang atau sekitar 7,42 %. Sedangkan yang menjawab abstain atau terserah, tidak ada sama sekali atau 0 %, (lihat grafik 3).  

Grafik 3. Fakta Transaksi Judi 

    A       B      C      D       

  • A --> Dibiarkan saja itu urusan individu (4,45 %)

  • B --> Negara dan masyarakat harus bertanggungjawab menghentikannya (88,13 %)

  • C --> Dilokalisasi saja (7,42 %)

  • D --> Abstain/terserah (0 %)

Dari sini diketahui bahwa masyarakat sangat peduli terhadap persoalan halal dan haram, serta merupakan tanggung jawab negara dan masayarakat untuk menghentikan segala transaksi yang diharamkan berupa sistem perjudian.

Munculnya bank syariah Islam dan fenomenanya, juga menjadi perhatian dalam penelitian ini. Terutama ketika krisis hebat mengguncang dunia perbankan nasional, terbukti bank-bank syariah tersebut tahan dan sehat dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan yang dijadikan pertanyaan adalah mengenai pendapat responden tentang kehadiran bank syariah di negeri ini. Dari seluruh responden yang ada, sekitar 594 orang atau 88,13 % menjawab sangat setuju dan harus dikembangkan. Sekitar 34 orang atau 5,04 % yang lain menjawab tidak setuju dan hal itu mengada-ada saja. Sekitar 2,08 % atau sebanyak 14 orang menjawab sudah cukup dan tidak perlu dikembangkan. Sebesar 4,75 % sisanya, atau sekitar 32 orang saja yang menjawab abstain/terserah, (lihat grafik 4).  

              Grafik 4.  Bank Syariah Islam

             

                 A       B        C       D       

  • A -->  Sangat setuju dan harus dikembangkan (88,13 %)

  • B --> Tidak setuju dan mengada-ada saja (5,04 %)

  • C --> Sudah cukup dan tidak perlu dikembangkan (2,08 %)

  • D --> Abstain/terserah (4,75 %)

Kesemuanya ini membuktikan bahwa kehadiran bank syariah memang membawa angin segar bagi masyarakat negeri ini yang mayoritas muslim dan harus dikembangkan di tengah kehidupan perekonomian.

Sistem ekonomi kenegaraan yang seperti apa, sesuatu yang menarik dan penting juga untuk diteliti. Masyarakat di negeri ini mencari-cari sistem ekonomi yang ideal untuk diterapkan serta membawa kesejahteraan. Untuk itulah, ditanyakan pula kepada para responden mengenai sistem ekonomi apa yang harus dan cocok untuk direalisasikan. Dari sekitar 674 responden, 73,29 % nya atau sekitar 494 orang mengatakan sistem ekonomi Islam-lah yang layak direalisasikan. Sebesar 2,37 %  atau 16 orang memilih sistem ekonomi kapitalistis. Kemudian, sekitar 10 orang atau 1,48 % responden menganggap sistem ekonomi sosialistis-komunistis-lah yang tepat. Untuk yang memilih sistem ekonomi campuran sebesar 17,21 % yaitu sebanyak 116 orang. Dan sisanya, atau sekitar 38 orang (5,64 %) menjawab abstain atau terserah terhadap masalah ini, (lihat grafik 5).  

               Grafik 5 Realisasi Sistem Ekonomi Islam 

               

                  A     B    C     D      E 

  • A --> Sistem Ekonomi Islam (73,29 %)

  • B --> Sistem Ekonomi Kapitalis (2,37 %)

  • C --> Sistem Ekonomi Sosialis Komunis (1,48 %)

  • D --> Sistem Ekonomi Campuran (17,21 %)

  • E --> Abstain/terserah (5,64 %)

Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di negeri ini menginginkan sistem ekonomi Islam dapat direalisasikan. 

Secara keseluruhan dan nyata, dari data-data di atas sebagai bukti, sudah semakin jelas bahwa masyarakat negeri ini yang mayoritas muslim sebenarnya memiliki akar budaya terhadap ekonomi pemilikan sesuai syariat Islam, menolak segala bentuk transaksi pemilikan yang diharamkan syariat Islam baik keharaman dari kapitalime maupun keharaman komunisme-sosialisme, serta pendapat yang berkembang bahwa sistem ekonomi Islam-lah yang dianggap harus dan cocok untuk direalisasikan. Artinya, ini semua merupakan bukti bahwa masyarakat sangat memperhatikan asas halal dan haram dalam aktivitas ekonomi pemilikannya. Hanya permasalahannya adanya asas tersebut tidak didukung oleh sistem kenegaraan yang kondusif, yang juga berdasarkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, kepada akidah, syariat dan hukum Islam, sehingga sistem ekonomi pemilikan dapat diterapkan dengan baik, integratif dan komprehensif, serta masyarakat tidak terjebak kepada sesuatu yang dilematis, yang kemudian menjerumuskannya ke dalam keharaman. Naudzu billah mindzalik! Selanjutnya, dengan menyadari permasalahan tersebut, kaum muslimin harus berusaha menerapkan kembali syariat Islam dalam ekonomi pemilikannya dan syariat Islam lainnya dalam seluruh aspek kehidupan secara nyata, di dalam negara, masyarakat, keluarga dan individu. Dan dengan langkah tersebut berarti mewujudkan peradaban baru yang modern, ideologis, rasional , dan benar ! Wallahu ’alam bisshowab.

__________________________________________________________

 

 

Sebagian Hasil Reportase DIALOG Edisi: "Islam Politik Pemerintahan dan Negara" dan

Edisi: "Islamic Society VS Civil Society"

 

 

** ISLAM, POLITIK PEMERINTAHAN DAN NEGARA

  DR. Indria Samego

Dialog berhasil mewawancarai Bapak DR.Indria Samego di Kantor LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di bilangan Gatot Subroto. Beliau yang sejak tahun 1976 sudah mengabdikan diri di LIPI ini adalah jebolan Fakultas Sospol UGM. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikan S1 dan S2 di Flindes, Australia dengan mengambil jurusan Studi Pembangunan. Kepiawaian-nya dalam masalah politik sudah banyak diketahui orang. Namun sedikit orang yang barangkali mengetahui bahwa Beliau teryata juga sangat tertarik dan perduli pada perkembangan Islam di negeri ini. Berikut petikan wawancara dengan Beliau.

 

DIALOG : Tidak bisa dipungkiri, negara ini menganut paham sekulerisme dalam masalah kenegaraan. Padahal telah diakui bahwa sekulerisme yang berasal dari Barat ini teryata telah mengikis harkat dan martabat manusia yang hakiki. Kalau menurut Bapak, mengapa kita tidak melepas paham ini untuk kemudian mencari altrenatif system kehidupan yang lebih baik ?

 

Bpk.Idria Samego :  Sebenarnya, konsep sekulerisme ini masih menjadi perdebatan bagi kita sendiri. Karena apabila mengacu pada dasar negara ini,yakni Pancasila, khususnya pasal ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ maka kita akan selalu menganggap sebagai negara teologis. Namun dalam prakteknya, negara ini bisa dikatakan sebagai sekuler, karena negara tidak perlu ikut campur pada persoalan-persoalan agama/ibadah rakyatnya. Saya berfikir, suka tidak suka persoalan hubungan agama (Islam) dengan negara masih menjadi perdebatan yang mengarah pada dikotomi, yakni ada sebagian yang beranggapan bahwa Islam itu tidak bisa dipisahkan dengan negara. Tetapi ada sebagian yang juga menanggap bahwa agama itu tidak perlu campur tangan pada persoalan negara terlalu dalam. Hal ini bisa terjadi karena Islam di Indonesia itu sangatlah beragam. Tidak semua tokoh-tokoh Islam memiliki pandangan yang sama tentang hubungan negara dan agama. Banyak sekali dari kalangan umat Islam yang kadar keIslaman-nya sangatlah jauh dari yang diharapkan. Ini menjadi tantangan, bagi kita kaum muslimin. Mengapa umat Islam masih seperti itu. Jadi yang penting bagi kita, adalah penegakan hokum-hukum Islam secara konsekuen dan harus berangkat dari kesadarannya. Dan masalah ini sangatlah dinamis. Secara pribadi, ada kebutuhan kita untuk menyamakan persepsi di kalangan umat Islam yang majemuk ini agar menjadi standar sehingga memenuhi seperti yang diharapkan.

           

DIALOG : Memang, seringkali dikatakan bahwa negara ini bukanlah negara sekuler, melainkan negara teologis, dengan alasan-alasan klasik sebagaimana di atas. Namun, kenyataannya tidak ditolaknya agama dalam kehidupan negara bukan berarti terlepas dari definisi sekuler. Karena sekulerisme sendiri tidak berarti menolak seratus persen agama, melainkan agama dipinggirkan sedemikian rupa, sehingga tidak dipergunakan secara menyeluruh dalam mengatur kehidupan manusia. Hal inilah yang kemudian bisa menghambat perkembangan Islam secara Kaafah. Dan sebagaimana Bapak katakan tadi, semuanya itu butuh proses panjang. Artinya harus ada sosialisasi yang terus menerus kepada umat. Kalau seperti ini, bagaimana prospeknya menurut Bapak :

 

Bpk.Indria Samego : Memang, persoalan mendasar di negeri ini seharusnya bisa diselesaikan terlebih dahulu, yakni ketidaksamaan persepsi diantara umat Islam sendiri dalam memandang hubungan agama dan negara. Jadi jelas butuh sebuah proses panjang dalam membina umat ini. Secara legal formal, sebenarnya keinginan untuk menerapkan syari’at Islam bisa dibicarakan di DPR sebagai sebuah wacana untuk  memperbaiki negeri ini. Namun secara informal, kita harus lihat bagaimana kondisi masyarakat kita kebanyakan. Sebenarnya, mereka atau rakyat kebanyakan menurut saya sangatlah bersifat relegius. Namun perlu gembar-gembor, mereka sangat mempercayai Tuhan dan selalu mencoba hidup dengan keselarasan pada ajaran agama. Nah, yang kita butuhkan saat ini adalah political will dari para elit politik Islam dan tokoh-tokoh kaum muslimin untuk melakukan perubahan-perubahan yang bisa langsung dirasakan oleh umat. Nanti kita akan melihat perubahan-perubahan yang mendasar pada umat menuju suatu kebaikan. Jadi dibutuhkan kesadaran berfikir terlebih dahulu, sebelum melakukan tindakan yang legal formal. Menurut saya penyadaran itu membutuhkan aktivitas yang sistematik dan terus menerus.

 

DIALOG : Tapi bukankah penerapan syari’at secara formal atau dengan jalan diundang-undangkan oleh negara juga penting ?

 

Bpk.Indria Samego : Ya, memang penting juga. Tapi kita harus melihat perspektif masalah ini secara proporsional. Artinya umat Islam dalam perjuangannya jangan selalu bersifat dadakan. Karena ada ST MPR, lalu mereka mengusulkan amandemen UUD tanpa mempersiapkan ke mana arah perubahannya. Seharusnya kaum muslimin menyiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya dan telah melakukan pembinaan yang intensif terhadap umat. Perubahan harus dilakukan secara bertahap, agar juga didukung oleh umat. Saya fikir, saat ini sudah mulai nampak indikasi kebangkitan Islam, dengan adanya pengajian-pengajian eksekutif, sekolah-sekolah Islam dan sejenisnya. Dan potensi umat Islam sangatlah besar, juga dalam masalah ekonominya dengan meningkatnya kuota haji. Jadi menurut saya, yang bagus adalah dua-duanya. Artinya umat harus dibina, sekaligus upaya legal formal penerapan syari’at Islam juga harus dilakukan.

 

DIALOG : Sebagian orang menganggap bahwa system politik adalah universal. Dari pendapat ini, maka system politik Barat yang sekuler dianggap juga cocok untuk di terapkan di negeri ini. Menurut Bapak apakah ada perbedaan antara ilmu politik dengan system politik ?

 

Bpk.Indria Samego : Bagi saya, politik itu tidak universal. Sistem politik itu tidak sama dengan kedokteran. Orang-orang yang belajar ke Barat itu tidak terbukti bisa  membuat negeri ini tambah maju. Hal ini karena ilmu-ilmu social, seperti politik, ekonomi, social memiliki value (nilai) yang berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Ini sudah menyangkut factor cultural atau kebudayaan yang berbeda. Misalnya, saat ini Malaysia yang menerapkan system federal lebih maju dari kita, maka kita harus menerapkan system federal juga. Logikanya tidak bisa seperti itu. Tidak ada jaminan terhadap masalah itu. Saya tidak pernah percaya bahwa teori-teori politik itu bersifat universal. Saya mengajar teori-teori politik Barat, dan saat saya mengajar saya katakan bahwa ini adalah system politik Barat yang tentunya tidak sama dengan kita. Jadi ada persoalan-persoalan dari politik  yang bisa bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus.

 

DIALOG : Sistem politik Barat terlahir dari sebuah peradaban, yaitu peradaban Barat. Islam juga sebuah peradaban, dan ini terbuktikan dengan berjalannya peradaban Islam selama lebih dari 1300 tahun. Lalu mengapa saat ini kaum muslimin tidak mengenal keagungan peradaban Islam itu, melalui teori-teori pilitiknya, system politiknya. Saat ini kenapa tidak diajarkan di sekolah-sekolah, tidak dibicarakan. Kenapa ini terjadi ?

 

Bpk.Indria Samego : Nah, inilah masalahnya. Kebetulan saya termasuk orang yang tertarik dan  perduli dengan masalah ini. Sebuah kenyataan sejarah, bahwa peradaban Islam lah yang memajukan dunia ini. Namun sekarang, umat Islam hanya disibukkan dengan perbedaan-perbedaan diantara mereka, misalnya tentang perbedaan menentukan awal dan akhir Ramadhan dan sejenisnya. Mereka kurang inovatif dan tidak mau menggali lebih dalam lagi kebudayaan dan warisan Islam. Mereka hanya terpaku pada hal-hal yang simbolik saja, dan cenderung tradisional. Mereka tidak mampu menerjemahkan Islam secara kontekstual, sehingga selalu tertinggal dengan peradaban lain. Padahal secara empiris Islam mempunyai semua yang dibutuhkan umat manusia dewasa ini. Dan yang lebih parah lagi, pakar-pakar politik kita kebanyakan belajar di negara-negara Barat, dan setelah kembali ke negeri ini, sudah pasti mereka akan membangun negeri ini sesuai dengan pandangan Barat yang diajarkan pada mereka. Seorang Amien Rais, misalnya yang pernah belajar di Timur-Tengah selain di Barat, teryata tidak juga berkeinginan menerapkan apa yang didapatnya di Timur Tengah. Dia lebih banyak berfikir ala Barat dan berkeinginan untuk menerapkan system ala Barat.

 

DIALOG : Mungkin Bapak bisa memulai ikut memasyarakatkan system politik Islam ?

 

Bpk.Indria Samego : Ya…Amien. Amien. Do’akan saja!

 

          Satu hal lagi, dunia saat ini didominasi oleh Barat. Jadi saat ini yang dibutuhkan, tidak selalu hanya mengecam Barat. Kita juga harus mempersiapkan semacam nilai-nilai alternatif yang selama ini hanya ditawarkan oleh peradaban Barat. Jadi harus ada solusi dari kalangan kaum muslimin sendiri. Saya percaya pada teori siklus. Artinya pengendali peradaban dunia itu terus berputar, tidak statis. Dahulu Romawi, lalu Timur Tengah, Lalu Jepang, kemudian Amerika. Jadi bukan tidak mungkin, di masa yang akan datang Indonesia dengan umat Islamnya yang akan mengendalikan peradaban dunia. Ini sesuatu yang mungkin. Yang penting alternatif peradaban Islam harus dirumuskan. Yang bagaimana. Supaya orang bisa percaya. Misalnya, system politik Islam, harus bisa dibuktikan  lebih baik dari system politik yang lain. Sistem ekonomi Islam harus pula dibuktikan lebih baik dari system ekonomi Kapitalisme. Nah, persoalannya sekarang, apakah tokoh-tokoh Islam, tokoh-tokoh partai politik Islam telah menunjukkan yang bagaimana negara Islam. Yang seperti apa system politik Islam. Menurut saya, hal inilah yang belum dilakukan oleh mereka. Mereka saya fikir baru mengetegahkan Islam sebatas symbol-simbol saja. Secara realistis dan aplikatis mereka belum mempersiapkan hal itu semua. Nah..hal inilah yang seharusnya dipersiapkan.

 

DIALOG : Yang menarik, Bapak tadi mengatakan bahwa kendali peradaban itu seperti siklus, selalu berputar. Barangkali itu merupakan sunatullah yang memang harus terjadi. Dan tadi Bapak juga mengatakan bahwa Indonesia dengan potensi kelebihan dan keurangannya juga berpeluang untuk memimpin atau mengendalikan peradaban dunia ini ke arah yang lebih baik. Apalagi dengan mayoritas umat Islam di negeri ini, semakin memperkuat kemungkinan di atas. Dan di masa lalu pun, umat Islam negeri ini telah memiliki akar sejarah yang relegius, dimana peninggalan seperti Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Ternate dan Tidore menjadi bukti kedekatan umat dengan syari’at Islam. Bagaimana hal ini menurut Bapak ?

 

Bpk.Indria Samego : Yah..memang hal ini pernah ada. Tapi kita tidak cukup hanya menghidupkan kenangan-kenangan kejayaan Islam di masa lalu saja. Karena barangkali pada masa lalu penerapan Islam belum secara sempurna dan mungkin baru sebatas alat legitimasi kekuasaan. Kalau tentang kebangkitan Islam, sebenarnya orang-orang Barat saja percaya tentang kebangkitan Islam (Islamic Revival) itu ada, khususnya di Asia Tenggara. Tetapi menurut mereka (Orang-orang Barat) kebangkitan Islam yang terjadi adalah Islam yang toleran atau mereka sebut dengan Islam Liberal. Ini menurut pengamat Barat yang dekat dengan Abdurrahman Wahid , yaitu : George Berton. Dan ini tentu saja di ‘amini’ oleh Abdurrahman Wahid, yang senang dengan itu. Misalnya Jum’at tidak jum’atan. Sekarang menurut saya, bagaimana kita mengisi isu kebangkitan Islam ini dengan kebangkitan yang benar. Saat ini, banyak sekali masjid-masjid dibangun. Tetapi masalahnya kemudian, banyak orang yang hanya berhenti hanya sampai di sini, membangun Masjid tetapi kemudian tidak mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang bisa memberdayakan umat. Islamic Center di tempat saya misalnya (di Bekasi), tidak ada kegiatannya. Masjid-masjid di Jakarta yang mewah-mewah hanya di buka pada saat-saat sholat saja, setelah itu ditutup. Padahal Masjid itu kan bukan hanya untuk sholat atau ibadah ritual saja. Pembinaan umat juga seharusnya dilakukan di masjid-masjid. Sehingga umat Islam yang dahulu baru sebatas Islam KTP akhirnya bisa diberdayakan dengan fasilitas-fasilitas masjid yang mewah tersebut. Masjid belum digunakan sebagai pusat budaya dan pusat peradaban.

 

DIALOG :  Sebagai seorang muslim, apakah Bapak meyakini prospek kebangkitan Islam secara umum, khususnya di negeri ini ?

 

Bpk.Indria Samego : Yah, saya memahaminya bahwa Islam itu sesuatu system yang sudah lengkap. Yang penting kemudian adalah bagaimana menerapkan Islam tersebut sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya. Saat ini, kondisi masyarakat tidak Islami. Maka persoalannya kemudian adalah bagaimana menjembatani antara kondisi realitas dengan yang seharusnya dalam Islam. Kalau ini tidak atau belum dilakukan oleh kaum muslimin, maka akan ada kaum muslimimin yang skeptis dan menganggap bahwa Islam itu cukup hanya dengan ibadah ritual saja. Nah, untuk itulah kita harus mempersiapkan diri dengan kerja yang dapat menjelaskan dan mengetengahkan Islam yang akan diterapkan itu semacam apa. Di sisi lain, pengaruh Barat akan terus menyerbu kaum muslimin. Untuk itu kita harus mempersiapkan diri menghadapinya. Kebudayaan kita tidak bisa dipungkiri sangatlah Barat. Untuk itulah harus ada proses secara sistemis membina umat Islam menuju nilai-nilai Islam. Sistem politik Islam termasuk di dalamnya, walaupun itu lebih sulit. Kita harus tetap optimis dengan kebangkitan Islam, meskipun dengan itu kita juga harus mempersiapkan diri menghadapinya.

 

 

*** ISLAMIC SOCIETY VS CIVIL SOCIETY

 

 Prof. DR. Komaruddin Hidayat

Pada kesempatan berikutnya, Dialog berhasil mewawancarai Bapak. Prof. DR. Komaruddin Hidayat. Beliau yang lahir di Magelang, Jawa Tengah pada 18 Oktober 1953 , saat ini menjabat sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Paramadina Jakarta. Beliau di wawancarai di Departemen Agama, yang juga kantornya yang lain. Inilah hasil wawancara dengan beliau.

 

Dialog : Saat ini ramai dibicarakan tentang masyarakat madani. Menurut bapak, defenisi dan fakta dari masyarakat madani itu sendiri bagaimana ?

 

Komaruddin.H. : Masyarakat kita masih simpang siur dalam mengartikan istilah masyarakat madani. Pengertian masyarakat madani sangat dipengaruhi oleh tiga corak kepentingan, yakni ilmiah akademis, kedua bahasa populer dakwah dan yang ketiga bahasa politik. Istilah masyarakat madani sendiri sebenarnya oleh kalangan ilmiah akademisi bisa dijabarkan secara ilmiah, tidak emosional dan didukung oleh fakta sejarah. Karena istilah masyarakat madani jika dikaitkan dengan teori negara, dia adalah ilmiah. Namun, apabila yang berbicara itu kalangan mubaligh, maka lain lagi. Mereka mengatakan bahwa masyarakat madani itu adalah masyarakat madinah. Padahal konsep masyarakat madani itu tidak bisa dinisbatkan begitu saja dengan masyarakat madinah. Yang terjadi malah, jika berbicara masyarakat madani, seolah-olah harus dari kalangan mubaligh. Padahal mereka mungkin tidak mengetahui dan menguasai apa itu sebenarnya masyarakat madani. Lalu yang ketiga, adalah nuansa politik. Karena madani itu sering dianggap madinah, dan madinah itu Islam, maka orang kristen jadi keberatan. Padahal madinah di zaman Rosul itu bersifat egaliter dan tidak mendiskriditkan orang-orang non muslim.

 

Dialog : Kalau begitu fakta sebenarnya masyarakat madani seperti apa ?

 

Komaruddin.H. : Tergantung siapa yang menafsirkan. Jadi konsep ini menjadi tidak populer dan cenderung manipulatif, karena kehilangan substansinya. Kalau menurut saya, tiap masyarakat itu pasti berbeda. Yang sama adalah nilai-nilai Islamnya. Hanya sayangnya saat ini, nilai-nilai Islam itu masih bersifat interpretatif, artinya cenderung tidak sama penafsirannya, sehingga memunculkan perseteruan diantara umat Islam sendiri.

 

Dialog : Masyarakat kita mayoritas Islam. Namun mengapa di masyarakat kita malah terjadi hal-hal yang menunjukkan jauhnya nilai-nilai Islam dengan para pemeluknya. Apa yang menjadi penyebab semua ini ?

 

Komaruddin.H. : Saat ini memang sangat paradoks. Hal ini dikarenakan masih simpang siurnya pemahaman terhadap Islamic Country, Islamic State dan Islamic Society. Banyak orang salah paham karenanya. Kalau Muslim Contry dia hanyalah negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Indonesia walaupun tidak menganut nilai-nilai Islam. Sedangkan Islamic State atau Negara Islam di negeri ini baru suatu konsep yang masih diperdebatkan. Sedangkan untuk masyarakat Islam, baru akan tercapai kalau nilai-nilai Islam itu dijalankan. Ini semua karena akar Islam kita masihlah sangat lemah. Kita kehilangan integritas, kehilangan daya ijtihad. Disinilah dibutuhkan sebuah perjuangan yang terus-menerus untuk menumbuhkan kembali dan menerapkan nilai-nilai Islam. Jadi yang perlu adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai Islam. Bagaimana menjadi orang muslim yang baik.

 

Dialog : Saat ini mungkin sudah banyak juga orang yang baik atau taqwa. Namun kalau tidak ada perangkat hukum atau negara yang mengundang-undangkan hukum syari’at Islam, maka kebaikan individu itu tidak akan membentuk masyarakat Islam. Dengan demikian, harus ada institusi dan penegakan hukum oleh negara ?

 

Komaruddin.H. : Kalau masyarakat ingin baik, maka jelas hukum itu harus kuat. Namun, hukum itu juga harus bisa merangkum seluruh lapisan masyarakat. Dan karena kita (muslim) adalah mayoritas maka bukan hanya memungkinkan bahkan kita harus memperjuangkan agar nilai-nilai Islam itu bisa menjadi hukum di negeri ini. Namun yang harus diperhatikan ketika memperjuangkannya adalah dengan cara-cara yang cerdas, tidak melawan hukum, dan harus bisa merebut simpati umat. Saya melihat wakil-wakil umat di DPR ini banyak yang tidak tahu, tidak punya integritas, pendidikan rendah , ekonomi tidak tahu, hukum tata negara tidak  tahu, khan payah ! Orang Islam saat ini banyak ketinggalan terhadap ilmu pengetahuan. Kita butuh orang ‘alim.

 

Dialog : Bagaimana dengan prospek perjuangan Islam dan penerapan Islam, walau pun masih banyak terdapat perbedaan diantara kita sendiri, Bapak pesimis atau optimis ?

 

Komaruddin.H. : Bagi saya bukanlah persoalan pesimis atau optimis. Bagi saya adalah itulah yang harus selalu diperjuangkan. Perjuangan itu harus selalu optimis dan realistis. Optimis artinya kita pasti akan selalu dilindungi dan dibantu oleh Allah SWT. Realistis artinya, lingkungannya apa ? Kalau umat Islam di Amerika Serikat jangan kita bermimpi ingin menegakkan negara Islam. Karena itu tidak memungkinkan ! Kalau di negeri ini yah..silahkan dianalisis, mungkin atau tidak mungkin ? Dan bentuknya apa ?  Konsepnya bagaimana ? Ini yang harus diselesaikan dan disiapkan !

Benih Islam (konsep-konsep)  saya fikir sangat siap. Namun yang saya masih pesimis adalah lahan atau tempat dimana benih itu akan tumbuh. Bagi saya itu yang harus dipersiapkan.

 

Dialog : Apa upaya untuk menyiapkan masyarakat kita agar siap hidup dengan aturan Islam  ?

 

Komaruddin.H. : Pertama adalah bagaimana dipetakan oleh kaum muslimin, apa agenda utama mereka. Saya setuju saja, secara konsep deduktif  dengan negara Islam. Tapi, sebuah negara itu khan tidak hanya konsepnya saja, tetapi butuh penerapan. Dia tidak hanya di awang-awang saja. Inilah yang harus dipersiapkan  oleh kaum muslimin saat ini !

 

 

  DR. Bahtiar Effendi

Dialog berhasil menemui Bapak. DR. Bahtiar Effendi di kantornya Menara Gracia, Kuningan. Beliau yang lahir di Ambarawa tahun 1958 ini aktif mengajar di IAIN dan Universitas Indonesia, pada mata kuliah Ilmu Politik. Beliau sendiri  adalah lulusan IAIN Jakarta dan Doktor di Ohio State Universitas, Amerika.  Saat ini beliau menduduki jabatan wakil direktur Lspeu (Lembaga Studi Dan Pengembangan Etika Usaha) Indonesia. Berikut petikan wawancara dengan beliau !

 

Dialog : Masyarakat Madani saat ini menjadi wacana yang sering menimbulkan polemik. Sebagian masyarakat menisbatkan definisi masyarakat madani dengan masyarakat Madinah yang pernah ada di zaman Rosul. Sebagian yang lain bersikeras pada terminology masyarakat madani yang berasal dari Barat, yakni masyarakat sipil atau  civil society. Menurut bapak sendiri, apa sebenarnya definisi dan fakta dari masyarakat madani ?

 

Bahtiar : Dua-duanya bisa salah bisa benar. Baik yang ingin mengacu kepada masyarakat Madinah maupun masyarakat sipil. Sebetulnya terjemahan yang paling tepat adalah masyarakat madani atau civil society, yang intinya sebuah kekuatan yang dapat menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Hakikat terminology dan konsep ini sebenarnya asli dari Barat. Dengan demikian, tidak tepat apabila masyarakat madani dinisbatkan pada masyarakat madinah di masa Rosul. Kalau masyarakat madani itu intinya adalah demokrasi. Padahal masyarakat madinah bisa jadi tidak menerima konsep demokrasi. Karena konsep masyarakat madani jelas-jelas bukan konsep kita kok. Dia jelas-jelas berasal dari Barat, konsep masyarakat Barat, dibangun berdasarkan nilai-nilai Barat. Nah…persoalannya apakah kita mau begitu saja mengikuti nilai-nilai Barat tersebut ? Padahal nilai-nilai Islam yang kita anut lebih luas lagi dari sekedar nilai-nilai masyarakat Barat. Dan yang sudah pasti terdapat pertentangan-pertentangan antara nilai Islam dengan nilai Barat tersebut. Dengan demikian, harus ada dialog untuk membicarakan masalah ini.

 

Dialog : Lalu nilai apa yang seharusnya  dibangun oleh masyarakat kita ?

 

Bahtiar :  Keinginan masyarakat kita masih beragam. Belum ada keinginan yang satu diantara umat ini. Nah, menurut saya sekali lagi perlu ada dialog. Keinginn-keinginan kaum muslimin selalu saja gagal, karena tidak pernah ada dialog. Kaum muslimin seringkali hanya memiliki konsep-konsep yang baik, namun tidak pernah ada efektivitas dialog untuk merealisasikan konsep-konsep tersebut. Kita lebih sering berjalan sendiri-sendiri tanpa pernah ada dialog diantara kita. Dengan demikian, harus ada kejelasan dari kaum muslimin tentang masyarakat macam apa yang ingin mereka bangun.

 

Dialog : Dalam keragaman umat Islam tuntutan untuk hidup di bawah naungan syariat Islam semakin kuat.  Bagaimana prospek penerapan syari’at Islam di negeri ini di tengah-tengah keberagaman ?

 

Bahtiar : Yang pertama kita harus menyepakati dulu nilai-nilai Islam yang akan kita terapkan. Dari sini baru kita break down nilai-nilai ke tingkat aplikasinya. Hal ini perlu dilakukan, karena keberagaman di kalangan kaum muslimin masih terjadi dan teramat parah. Pemahaman mereka yang rendah mengakibatkan tidak bisa dialog diantara mereka. Saat ini masih banyak kaum muslimin yang belum sepakat terhadap penerapan syari’at Islam. Disinilah tantangan bagi umat Islam yang ingin memperjuangkan syari’at Islam. Dengan demikian harus ada dialog diantara kaum muslimin.

 

Dialog : Kalau syari’at Islam sudah menjadi opini umum di kalangan umat ?

 

Bahtiar : Harus ada proses yang secara terus menerus dilakukan oleh kaum muslimin. Tanpa proses tidak akan mungkin terjadi. Kaum muslimin yang memperjuangkan Islam harus jalan terus dan mensosialisasikan syari’at Islam ke tengah-tengah masyarakat. Sedangkan yang menolak biarkan juga terus berjalan. Nah..ketika itu barulah dialog dilakukan sehingga nanti akan nampak ide dan konsep siapa yang lebih unggul. Atau akan terjadi pula titik persamaan setelah dialog dilakukan. Sekarang ini dialog-dialog intensif itu belum ada lagi. Dahulu pernah ada, namun dihentikan oleh kekuatan-kekuatan yang memang tidak senang. Saya harap di masa yang akan datang tidak ada lagi kekuatan-kekuatan yang menghalangi dialog-dialog semacam ini. Kalau dialog ini dilakukan dengan dewasa dan cerdas, saya fikir apa yang menjadi keinginan kaum muslimin bisa tercapai. Dialog tidak boleh dilakukan dengan emosi dan marah-marah. Apalagi dengan kekerasan. 

 

Dialog :  Kalau begitu, menurut bapak banyak kaum muslimin yang tidak paham dengan nilai-nilai Islam atau syari’at Islam ?

 

Bahtiar : Ya ! Untuk itu perlu banyak penjelasan yang baik tentang Islam oleh orang-orang yang memang memahami Islam. Konsep-konsep Islam yang unggul dan mulia itu banyak yang belum dipahami oleh kaum muslimin, termasuk konsep masyarakat Madinah yang pernah ada di masa Rosul. Lalu kalau negara Islam, bagaimana perlindungan terhadap warga negara, kepada orang-orang non muslim dan sebagainya. Saat ini kaum muslimin baru sampai pada tuntutan untuk menerapkan syari’at Islam saja. Seharusnya mereka juga menyiapkan konsep aplikatif (break down) dari konsep tersebut secara jelas dan rinci. Yah..mungkin seperti di dalam majalah anda ini (Dialog, red). Jadi tidak Cuma sekedar “Piagam Jakarta” ini, itu dan sebagainya. Tapi harus ada penjelasan apa itu “Piagam Madinah”, bagaimana penerapnnya dan keterangan yang sejelas-jelasnya !

 

Dialog : Prospek Dialog tersebut ?

 

Bahtiar : Kaum muslimin harus melakukannya. Kita harus siap. Karena kalau hanya teriak-teriak saja kita tidak akan pernah berhasil. Dahulu, konsep Islam sebagai dasar negara juga masih abstrak. Tidak ada penjelasan dan rinciannya. Umat Islam belum melakukan break down terhadap konsep-konsep Islam yang ada. Padahal kalau mereka menyiapkannnya dan mensosialisasikannya, siapapun pasti akan menerimanya. Karena seluruh konsep Islam itu adalah kebaikan semua. Tugas inilah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin saat ini.

 

Dialog :  Bapak yakin nilai-nilai Islam dapat mengatasi problem masyarakat kita ?

 

Bahtiar : Semua itu tergantung kita. Kalau kita mau bisa saja. Hanya nilai-nilai Islam yang bagaimana yang mampu untuk mengatasi problem-problem yang ada. Saat ini, menurut saya nilai-nilai Islam yang standar belum ada yang menerapkan. Iran, atau manalah, itu juga belum standar. Sistem ekonomi Islam, belum ada yang menerapkannya secara standar, begitu pula dengan system-sistem yang lain. Itu semua tugas umat Islam. Dengan demikian kerjaan umat Islam itu banyak sekali. Dan anda dengan majalah anda itu sudah melakukan suatu upaya ke arah sana. Jadi semua itu harus ada dialog diantara kita. Saat ini Islam belum diterapkan karena ketidak mengertian  diantara kaum muslimin sendiri.

 

UCF: UMAT CHARITY FUND - ucf1429@gmail.com

 Penerbit  Buku  

   PUSTAKA ISTAC 

 CNS: PUSTAKA CNS

 PUSTAKA ATSA

PENERBIT BUKU PUSTAKA ISTAC-PUSTAKA ATSA-PUSTAKA CNS