Pendidikan

            MAJALAH  DIALOG

                    PENDIDIKAN

ISTAC: ISLAMIC THOUGHT AND CIVILIZATION

Home      Politik    Ekonomi   Hukum   Sosial     Realitas    Atsaqofiyah     Berita

 

MUSYAWARAH ATAU PENGAMBILAN PENDAPAT

DALAM ISLAM

 

Musyawarah atau pengambilan pendapat dilakukan oleh khalifah atau seorang amir atau seseorang yang memiliki wewenang, baik dia sebagai kepala negara, komandan pasukan, ataupun pimpinan yang memiliki tanggung jawab, semuanya disebut amir. Musyawarah berlaku juga antara suami-istri, berdasarkan firman Allah swt., “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan dan permusyawaratan” (QS. Al Baqarah [2]: 233).

Adapun penyampaian pendapat bagi orang yang memiliki wewenang baik sebagai hakim, komandan atau lainnya merupakan perkara yang tidak samar lagi, karena hal itu tergolong sebagai nasehat. Nasehat merupakan perkara yang disyariatkan dan harus disampaikan kepada para pemimpin kaum muslimin dan kepada seluruh manusia. Adapun yang dijadikan rujukan bagi orang yang memiliki wewenang, baik dia sebagai hakim maupun sebagai amir atau kepala negara dalam rangka mengambil pendapat dari manusia, maka hal itu merupakan topik yang masih samar, terutama setelah tersebar luasnya pemikiran demokrasi yang selalu berusaha merubah pola pikir kebanyakan kaum muslim. Pengambilan pendapat yang sering disebut dalam Islam yaitu musyawarah. Penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum muslim maupun non muslim, karena Rasul telah men-taqrir-kan suatu pendapat yang ada pada hilf al fudlul yang berbunyi, “Jika aku panggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi (panggilannya), dan aku tidak ingin melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal itu bagiku (lebih baik daripada) unta merah.” Padahal pendapat tersebut adalah pendapat orang-orang musyrik, dan pengambilan pendapat tidak boleh dilakukan kecuali atas kaum muslim. Musyawarah tidak berhak diberlakukan kecuali bagi kaum muslim, karena Allah swt. menyeru kepada Rasul hingga berfirman, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imran [3]: 159). Artinya untuk kaum muslim. Selanjutnya Allah swt. berfirman, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka” (Q.S. Asy Syura [42]: 38) Yaitu kaum muslim.

Ayat yang pertama berbunyi, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imran [3]: 159).

Ini seluruhnya dari Rasul untuk seluruh kaum muslim. Dan ayat yang kedua berbunyi, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” (Q.S. Asy Syura [42]: 38).

Sifat-sifat itu hanya ada pada kaum muslim. Oleh karena itu musyawarah khusus bagi kaum muslim. Musyawarah di kalangan kaum muslim merupakan perkara yang mashur dan telah diketahui. Musyawarah juga dijumpai di dalam Al Quran dan hadits dan dalam banyak perkataan kaum muslim. Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarah dari pada Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya.”

Dari Hasan ra berkata, “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.”

Pengambilan pendapat itu adalah musyawarah yang telah ditetapkan oleh nash Al Quran dan Hadits. Yang kini samar dalam benak kebanyakan kaum muslim adalah, pendapat seperti apa yang terdapat di dalam musyawarah? Dengan kata lain perkara-perkara apa yang sebenarnya (dapat) diambil dalam suatu pendapat? Lalu apa sebenarnya hukum tentang pendapat tersebut, apakah wajib mengambil pendapat mayoritas tanpa melihat lagi benar atau salahnya? Atau wajib mengambil pendapat yang benar tanpa memandang lagi mayoritas atau minoritas, ataupun pendapat (tersebut) yang dikeluarkan oleh satu orang?

Untuk mengetahui jawaban perkara-perkara tadi diperlukan pemahaman terhadap realita tentang pendapat, dilihat dari sisi keberadaannya sebagai pendapat. Apa sebenarnya pendapat itu? Kemudian diperlukan pemahaman tentang dalil-dali syara’ yang rinci, yang mengupas tentang pengambilan pendapat. Selanjutnya penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang pendapat dengan penerapan yang bersifat tasyri’iy.

Realita tentang berbagai pendapat yang ada di dunia tidak keluar dari empat jenis pendapat, tidak ada yang kelima. Seluruh pendapat di dunia, bisa termasuk salah satu dari berbagai pendapat ini, atau tergolong cabang dari suatu pendapat, atau berada di bawah cakupan suatu pendapat. Empat jenis pendapat tersebut adalah:

1. Pendapat tersebut merupakan hukum syara’, artinya pendapat yang bersifat tasyri’iy.

2. Pendapat tersebut merupakan definisi (terminologi) suatu perkara dari sekian banyak perkara. Baik definisi syar’i, seperti misalnya definisi tentang hukum syara’, atau definisi tentang suatu fakta/realita, seperti definisi tentang akal, definisi mujtama’ (tentang masyarakat), dan lain-lain yang serupa.

3. Pendapat tersebut menunjukkan kepada pemikiran mengenai suatu topik, atau menunjukkan kepada perkara yang bersifat seni, yang dipahami orang yang ahli dan spesialis (pakarnya).

4. Pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas di antara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan.

Inilah sekilas tentang berbagai (jenis) pendapat yang ada di dunia dan realitasnya. Lalu apakah musyawarah dapat dilakukan dalam setiap pendapat-pendapat tersebut seluruhnya, atau hanya boleh dimusyawarahkan pada sebagian pendapat saja? Apakah pendapat mayoritas harus dipilih tanpa melihat aspek benar dan salahnya? Atau pendapat yang benar saja yang harus dipilih dan pendapat mayoritas dapat diabaikan? Agar kita sampai kepada jawaban, maka pertama-tama kita harus mengambil dalil-dalil yang terdapat di dalam Al Quran dan hadits. Kemudian kita aplikasikan dalil-dalil tersebut ke dalam pendapat-pendapat tadi. Adapun yang berkaitan dengan musyawarah, nash Al Quran menunjukkan bahwa Musyawarah itu terkait dengan seluruh pendapat yang ada, karena ayat menyatakan, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka” (Q.S. Asy Syura [42]: 38). “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imran [3]: 159).

Kalimatnya di sini berbentuk umum, kata amruhum berarti perkara kaum muslim, mencakup seluruh perkara. Sedangkan kata al amru, alif lam di sini untuk jenis, maksudnya jenis perkara. Bentuk umum tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhusukannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan Musyawarah dalam perkara apapun, sehingga musyawarah bersifat umum mencakup seluruh pendapat. Sedangkan keterikatan terhadap suatu pendapat yang diambil dalam musyawarah, yaitu untuk pen-tarjih-an yang dipandang benar tanpa melihat lagi pendapat mayoritas, maka di sana terdapat nash-nash yang menunjukkan adanya keterikatan dengan pendapat mayoritas. Di sana ada juga nash-nash yang menunjukkan tidak adanya keterikatan dengan pendapat mayoritas, yang ada hanyalah hak bagi pengambil keputusan untuk merealisir ketegasan sikapnya terhadap suatu pendapat, tanpa memandang aspek mayoritas. Rasul saw. bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil musyawarah, maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua.” Ini diturunkan pada peristiwa (perang) Uhud. Rasul menyetujui pendapat mayoritas, dan Allah berfirman kepada Rasul, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah” (Q.S. Ali Imran [3]: 159).

Agar kita sampai kepada pengetahuan tentang kapan seharusnya terikat dengan pendapat mayoritas, dan kapan tidak terikat dengan pendapat mayoritas, maka kita wajib mengambil terlebih dahulu dalil-dalil yang termuat di dalam Al Quran dan hadits, lalu kita terapkan dalil-dalil tersebut terhadap berbagai jenis pendapat yang ada di dunia.

Adapun dalil-dalil yang terdapat di dalam Al Quran di antaranya ada dua ayat, yang pertama adalah firman Allah swt., “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imran [3]: 159). Ini adalah perintah Allah kepada Rasul-Nya untuk merujuk kepada kaum muslim dan mengambil pendapat mereka. Pada kesempatan lain Allah memberikan bagi Rasul hak ikhtiar (pilihan) pendapat sebagaimana kelanjutan ayat itu sendiri, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah” (Q.S. Ali Imran [3]: 159). Artinya, apabila kamu telah memutuskan suatu perkara setelah (dilakukan proses) musyawarah maka bertawakallah kepada Allah dalam pelaksanaan urusanmu ke arah yang lebih baik dan penuh kemaslahatan. Di sini Allah telah berfirman dengan kata ‘azamta bukan ‘azamtum.

Adapun ayat yang kedua, Allah swt. berfirman, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka” (Q.S. Asy Syura [42]: 38). Ini merupakan pujian dari Allah swt. kepada kaum muslim karena mereka tidak mengisolir suatu pendapat sampai mereka saling bermusyawarah di dalamnya. Firman tersebut adalah anjuran kepada musyawarah, dan bentuk pembicaraannya global. Oleh karena itu perlu merujuk kepada sunnah agar kita melihat berbagai perkataan dan perbuatan Rasul yang akan merinci keglobalan tersebut.

Dengan cara merujuk terhadap seluruh perkataan dan perbuatan Rasul maka kita akan mendapatkan bahwa Rasul saw. bersabda kepada Umar, “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil musyawarah, maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua.” Artinya, Rasul terikat pada dirinya sendiri untuk tidak melanggar keduanya mengenai hal-hal yang telah disepakati. Beliau mengaitkan kesepakatan keduanya tentang hasil musyawarah sehingga Rasul bersabda, “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil musyawarah.” Kata masyurah (permufakatan hasil musyawarah) dalam hadits merupakan sifat yang layak dijadikan sebagai pengikat dan memiliki mafhum mukhalafah. Artinya jika mereka berdua sepakat mengenai perkara selain hasil musyawarah maka beliau tidak mesti terikat dengan (pendapat) keduanya. Di sini Rasul menjelaskan tidak melanggar pendapat mayoritas karena mereka berjumlah dua orang dan Rasul hanya satu orang.

Kemudian kita temukan bahwa Rasulullah saw. telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari kaum muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak keislamannya (munafik) pada perang Uhud dan mereka saling bermusyawarah. Lalu Nabi saw. berpendapat bahwa lebih baik mereka berjaga-jaga (bertahan) di Kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada di luar Madinah. Pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga dianut para pemuka sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang memiliki semangat pembelaan yang kuat yang belum memperoleh syahid pada perang Badar, yang berpendapat lebih baik keluar (Madinah) untuk menyongsong dan melawan musuh. Maka muncullah mayoritas dukungan terhadap pendapat para pemuda tadi sehingga Rasul manyetujui pendapat mereka dan mengikuti pendapat mayoritas. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menyetujui pendapat mayoritas dan beramal sesuai dengan pendapat tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat, karena mereka berada pada posisi minoritas, hingga orang-orang kecewa lalu mereka berkata, “Kami merasa kecewa terhadap Rasulullah, karena tidak ada bagian kami dalam perkara tersebut.” Lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan berkata, “Kami merasa kecewa kepadamu, tidak ada bagian untuk kami dalam perkara itu, jika engkau bersedia maka duduklah, niscaya Allah memberikan (rahmat) kepadamu.” Nabi tetap menolak permintaan mereka untuk kembali pada pendapatnya dan para pemuka sahabat. Beliau tetap berjalan pada pendapat mayoritas.

Kita bisa juga melihat Rasulullah dalam perang Badar, dimana beliau setuju dengan pendapat yang benar. Beliau cukup mengambil satu pendapat (yang berasal dari satu orang) tatkala pendapat tersebut benar. Ketika Nabi dan kaum muslim sama-sama singgah di sebuah tempat yang berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubbab bin al Munzhir keberatan singgah (dan mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menganggap bahwa tempat singgah ini telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak ada hak bagi kami untuk mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya saja?” Kemudian Rasul menjawab, “Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.” Maka Hubab bin al Munzhir berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukanlah tempat singgah yang layak.” Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam diri langsung berdiri bergegas bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al Munzhir.

Di dalam hadits ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat para jamaah (mayoirtas), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga cukup pengambilan dari satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan sendiri oleh Rasul, “Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.”

Kita juga dapat melihat Rasul dalam (perjanjian) Hudaibiyyah tatkala beliau tetap berpegang teguh pada pendapatnya sendiri dan mencampakkan pendapat Abu Bakar maupun Umar (pendapat mereka diabaikan). Bahkan mencampakkan juga pendapat seluruh kaum muslim, lalu mereka dengan terpaksa menyetujui pendapat beliau, meskipun mereka marah diikuti berbagai komentar. Maka Nabi bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya aku ini Rasulullah, dan aku sekali-kali tidak melakukan maksiat terhadap-Nya dan Dia adalah penolongku.”

Dari empat peristiwa tersebut kita dapat menemukan bahwa Rasul pernah berpegang teguh dengan pendapatnya sendiri dan mencampakkan seluruh pendapat yang ada ke dinding (diabaikan). Kita juga mendapati beliau kembali kepada pendapat yang benar dan cukup mengambilnya dari satu orang seraya meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak kembali kepada pendapat para jamaah (mayoritas). Kita juga mendapati bahwa beliau menyetujui pendapat mayoritas dan beliau pernah bersabda mengenai perkara yang menunjukkan rujukan (beliau) kepada pendapat mayoritas dan tidak menentang pendapat tersebut. Apabila kita sungguh-sungguh meneliti persoalan yang ada dalam hadits-hadits tersebut, serta mengkaji situasi dan kondisi yang ada di dalamnya, maka akan kita jumpai bahwa Rasul selalu kembali kepada dalil syara’, yaitu wahyu, seperti terjadi di Hudaibiyyah. Beliau kembali kepada (pendapat) yang benar, seperti yang terjadi di Badar. Dan beliau kembali kepada (pendapat) mayoritas, seperti yang terjadi di Uhud. Juga tidak dilanggarnya hasil musyawarah dengan Abu Bakar dan Umar. Maka tidak ada perkara pun yang melewati apa saja yang telah ditunjukkan oleh perbuatan dan perkataan Rasul dari tiga keadaan:

Pertama, merujuk kepada kekuatan dalil, menurut pihak yang mengeluarkan dalil bukan menurut manusia.

Kedua, merujuk kepada yang benar tanpa memandang pada pendapat (mayoritas), bahkan tanpa mempertimbangkannya sedikitpun.

Ketiga, merujuk kepada (pendapat) mayoritas tanpa memandang pada (pendapat) yang benar bahkan tanpa mempertimbangkannya sedikit pun.

Apabila kita terapkan tiga point (hukum) tadi –yang telah di-istinbath dari perbuatan dan perkataan Rasul– terhadap realita berbagai jenis pendapat yang ada di dunia ini maka kita akan menemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa hukum syara’ hanya di-rajih-kan berdasarkan kekuatan dalil saja karena Rasul saw. hanya me-rajih-kan apa yang diturunkan berdasarkan wahyu dan menolak selainnya secara tegas. Oleh karena itu Rasul bersabda, “Sesungguhnya aku ini Rasulullah, dan aku sekali-kali tidak melakukan maksiat terhadap-Nya dan Dia adalah penolongku.”

Dalil syara’ itu tidak lain adalah Al Quran dan sunnah serta hal-hal yang ditunjuk oleh Al Quran dan sunnah sebagai sebuah dalil, karena penerapannya berdasarkan perintah dan larangan dari Allah. Kekuatan dalil bukan berdasarkan banyaknya (pendapat) orang, bukan pula pada perkara yang mereka jadikan sebagai istilah, dan bukan juga menurut apa yang mereka pahami. Kekuatan dalil adalah menurut pihak yang menjadikannya sebagai dalil, walaupun aspek pengambilan dalil merupakan pemahaman yang diperuntukkan baginya (seorang) saja, atau istilah yang dimiliki (seseorang) saja, selama ia bersandar kepada syubhat ad dalil. Sebab, kekuatan dalil berbeda menurut banyak orang, disebabkan perbedaan persepsi mereka terhadap dalil syara’ itu sendiri, juga berbedanya persepsi mereka terhadap cara yang dipahami dari segi bahasa dan syara’. Kekuatan dalil tidak diartikan dengan kuatnya hadits saja, akan tetapi kekuatan dalil baik yang berasal dari Al Quran ataupun Sunnah dilihat dari segi dirayah, riwayat, pemahaman dan i’tibar. Perkara ini tidak ada perbedaan di kalangan kaum muslim.

2. Pendapat yang menunjukkan kepada suatu pemikiran dan termasuk topik yang harus di-rajih-kan aspek kebenarannya. Contohnya seperti masalah an nahdlah (kebangkitan). Apakah kebangkitan (dicapai) dengan peningkatan aspek pemikiran atau dengan cara peningkatan perekonomian? Atau apakah sikap internasional berada di pihak negara si fulan atau negara si fulan yang lain? Atau apakah kondisi dalam negeri dan masyarakat internasional mendukung dilakukannya berbagai manuver politik; ataukah sama sekali tidak mendukung? Maka terhadap perkara-perkara tersebut semuanya harus dikembalikan kepada yang benar. Sebab, apapun jenisnya termasuk (berada) di bawah perkataan Rasul, “Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.”

Yaitu dikembalikan kepada pendapat yang benar, sebagaimana Rasulullah saw. kembali kepada pendapat Hubab bin al Munzhir. Ini adalah pendapat yang bersifat fanni (teknis), karena Rasulullah saw. ketika kembali kepada pendapat Hubab bin al Munzhir –Hubab adalah orang yang mengetahui tempat tersebut– maka beliau kembali kepada pendapat Hubab karena dia adalah orang yang ahli (pakar) dalam bidangnya. Oleh karena itu untuk pendapat-pendapat yang bersifat teknis (harus) kembali kepada yang benar.

3. Bahwa pendapat yang mengarah pada pelaksanaan suatu aktivitas lebih diutamakan pendapat mayoritas, karena Rasulullah saw. sepakat mengikuti pendapat mayoritas pada perang Uhud, sehingga beliau keluar sampai di luar perbatasan kota Madinah. Padahal beliau memandang bahwa pendapat ini salah, dan dipandangnya benar adalah pendapat sebaliknya. Demikian juga para pemuka sahabat yang pandangannya berbeda dengan pendapat tersebut (mayoritas). Mereka selaras dengan pendapat Rasul untuk (lebih baik) tetap tinggal (bertahan) di Madinah saja. Kendati demikian Rasul tetap merealisir pendapat (mayoritas), yaitu keluar dari perbatasan kota Madinah, karena hal itu adalah pendapat mayoritas. Rasul melakukannya sesuai dengan keterangan penunjukkan sabdanya kepada Abu Bakar dan Umar, “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil musyawarah, maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua.”

Pendapat yang tergolong sejenis dengan peristiwa Uhud adalah pendapat yang mengarah kepada pelaksanaan suatu aktivitas. Seluruh pendapat yang mengarah kepada pelaksanaan suatu aktivitas dari berbagai aktivitas yang ada dikembalikan pada (pendapat) mayoritas. Misalnya pemilihan kepala negara, atau pemberhentian seorang wali, atau ketetapan sebuah proyek, atau hal-hal lain yang serupa dengan perkara tersebut. Dengan demikian pendapat mayoritas harus diambil dan pendapat tersebut mengikat, tanpa memperhatikan lagi benar tidaknya.

Beranjak dari penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang berbagai jenis pendapat yang ada di dunia maka jelas bahwa pendapat yang mengikat, maksudnya pendapat yang di-rajih-kan dan tercakup dalam (pendapat) mayoritas adalah pendapat yang keberadaannya sejenis dengan pendapat yang terjadi pada peristiwa Uhud. Pendapat seperti inilah yang termasuk di bawah cakupan hasil musyawarah yang terdapat dalam sabda Rasulullah saw., “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil musyawarah.”

Pendapat ini adalah pendapat yang mengarah kepada pelaksanaan suatu aktivitas dari berbagai aktivitas. Adapun selain dari perkara itu (yang keberadaannya tidak termasuk jenis pendapat yang terjadi di Uhud) tidak dianggap sebagai pendapat yang mengikat, dan tidak diwajibkan beraktivitas dengan pendapat yang tercakup dalam (pendapat) mayoritas. Oleh karena itu maka pendapat tersebut mengikat. Pendapat yang di-rajih-kan dalam cakupan (pendapat) mayoritas dibatasi oleh semacam aktivitas dari berbagai macam aktivitas yang ada di dunia. Dan itu adalah pendapat yang membahas tentang aktivitas yang mesti dilaksanakan. Seperti diketahui bahwa hukum syara’ merupakan bagian dari penerapan. Pendapat yang menghantarkan (menjurus) kepada pemikiran atau perkara teknis tidak perlu memperhatikan pendapat mayoritas, akan tetapi cukup dengan meneliti hukum syara’ sampai menemukan kekuatan suatu dalil. Kemudian memperhatikan pendapat yang menghantarkan kepada pemikiran serta perkara teknis, yakni perkara-perkara yang keberadaannya merupakan bagian dari pendapat, peperangan, dan tipu daya, kepada pendapat yang benar (tepat) bukan yang lain.

Oleh karena itu maka definisi tergolong pendapat yang tidak mengikat (tidak termasuk) pendapat mayoritas, juga tidak termasuk perkara musyawarah, dan tidak pula berada dalam aspek manapun, karena tidak ada kesesuaian dengan peristiwa Uhud. Perkara ta’rif (definisi) hendaknya disesuaikan dengan pendapat ynag menunjuk kepada pemikiran, karena pembahasan hukum syara’ tentang tentang ta’rif, dan pembahasan akal tentang ta’rif merupakan pembahasan tentang fakta/realita agar sampai pada pengetahuan tentang definisi yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang hakiki. Jadi seluruh perkara yang keberadaannya sesuai dengan realita maka perkara tersebut dianggap rajih (yang harus diunggulkan). Dengan demikian yang di-rajih-kan di dalamnya –mengenai ta’rif– adalah yang benar (tepat). Tidak dibahas (mengenai ta’rif) dalil syara’nya, dan tidak pula harus dihiraukan pendapat mayoritas. Di samping itu tidak ada perbedaan antara ta’rif syara’ dengan ta’rif dalam perkara apapun. Kapanpun keberadaan sebuah ta’rif itu berlaku umum (jaami’an) bagi seluruh mu’arif (orang yang mendefinisikannya) tanpa ada kecuali dan tanpa adanya seorangpun mu’arif yang keluar dari ta’rif tersebut, dan bersifat maani’an (mencegah) siapapun yang masuk dalam cakupan ta’rif tersebut. Itulah yang lebih diunggulkan dari definisi-definisi lainnya. Dengan kata lain lebih diutamakan aspek yang mengandung kebenaran (ketepatan), karena sesuai dengan realita al mu’arif, dan yang sifatnya sesuai dengan sifat yang hakiki tentang realita tersebut.

Itulah hukum musyawarah dalam Islam. Hal itu merupakan perkara yang jelas terkandung di dalam nash-nash Al Quran dan hadits, dan dirinci dalam bentuk perbuatan Rasulullah saw.. Hanya saja karena sangat rumitnya pemahaman tentang musyawarah ini terkadang ketika membahas realita berbagai pendapat terjadi pencampur-adukan tentang perbedaan antara pendapat yang menghantarkan pada suatu fikr (pemikiran) dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu amal (aktivitas). Kadangkala penerapan dalil-dalil terhadap berbagai pendapat yang ada di dunia terdapat kesamaran, mengenai perbedaan antara peristiwa Badar dan peristiwa Uhud. Kadang orang mengatakan bahwa di dalam pembahasan realita tentang pendapat tidak terdapat perbedaan antara pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas dengan pendapat yang menghantarkan pada suatu pemikiran, karena pada akhirnya semua itu kembali kepada suatu aktivitas. Lalu dari mana datangnya perbedaan antara keduanya? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, bahwa di sana terdapat perbedaan yang amat tipis antara keduanya. Pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide hanya membahas topiknya saja tanpa melihat kepada aktivitas. Jadi, fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Lagipula yang diinginkan dari pemahaman tersebut adalah tercapainya fikrah tentang topik yang dibahas tanpa memperhatikan lagi aktivitas, atau tanpa memperlihatkan lagi aktivitas yang akan dihasilkan fikrah tersebut. Misalnya, kaum muslim keluar memerangi riddah (orang-orang murtad) yang dianjurkan oleh Abu Bakar, dengan alasan bahwa hal itu adalah pemberontakan sekelompok masyarakat dalam rangka menghindari pelaksanaan hukum-hukum Islam. Sementara yang dianjurkan Umar beralasan bahwa hal itu adalah perang kelompok yang kuat dalam menentang negara, dan kadangkala negara tidak berdaya memerangi mereka. Oleh karena itu Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kalau saja mereka enggan (tidak membayar zakat meskipun berupa) (tali) kekang unta, dimana mereka pernah menunaikannya (zakat) kepada Rasulullah, maka sungguh aku akan perangi mereka.” Ketika topik pembahasan sudah menjadi jelas bagi Umar, beliau menarik kembali pendapatnya dan mengikuti pendapat yang tepat (benar), yaitu pendapat Abu Bakar. Karena topiknya benar-benar merupakan perkara perlawanan sekelompok masyarakat dan bukan perkara tentang peperangan sekelompok besar (kuat) yang menentang negara. Pembahasan sebenarnya adalah bukan pada keluar atau tidaknya untuk berperang sebagaimana yang pernah terjadi di Uhud melainkan apakah enggannya orang Arab menunaikan zakat setelah wafatnya Rasul dan sikap perlawanan mereka kepada negara merupakan pemberontakan terhadap pelaksanaan hukum syara’, atau hanya perlawanan sekelompok besar (masyarakat) terhadap negara? Inilah yang menjadi topik pembahasan. Oleh karena itu maka pembahasannya adalah tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran. Prosesnya dikembalikan kepada pendapat yang paling tepat. Dalam kasus tersebut adalah pendapat yang menyatakan bahwa hal itu merupakan pemberontakan dari sekelompok rakyat terhadap pelaksanaan hukum-hukum syara’. Contoh lain tentang pengangkatan mushaf (Al Quran) yang dilakukan oleh Muawiyyah yang mengharapkan tahkim Al Quran antara dia dan Sayyidina Ali. Apakah peristiwa tersebut benar-benar tahkim terhadap Al Quran saja atau tipuan melawan Sayyidina Ali? Ali r.a. melihat adanya tipuan, meskipun beliau menyaksikan sendiri lebih banyak orang yang memihak tahkim Al Quran. Topik ini perlu dibahas agar terungkap kebenaran tentang pengangkatan mushaf. Hal ini berhubungan dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide (pemikiran). Prosesnya harus merujuk kepada pendapat yang tepat (benar), dan pendapat itu menyatakan adanya tipuan melawan Sayyidina Ali r.a.. Contoh lain tentang, apakah bertambahnya para hukkam (penguasa) akan membuat negara menjadi lemah, atau dengan bertambahnya mereka negara akan menjadi kuat. Dengan ungkapan lain, apakah jumlah hukkam yang sedikit membuat negara menjadi kuat atau justru akan membuat negara menjadi lemah, dan setiap pertambahan mereka maka negara menjadi kuat? Maksudnya, apakah kabinet dalam sistem demokrasi akan menjadi kuat setiap kali jumlah anggotanya makin sedikit, dan menjadi lemah setiap kali jumlah mereka bertambah banyak, atau sebaliknya? Lalu apakah negara dalam sistem Islam akan menjadi kuat setiap kali jumlah para muawin (pembantu) khalifah makin sedikit, dan menjadi lemah setiap kali jumlah mereka bertambah banyak, ataukah sebaliknya? Topik ini perlu dibahas agar sampai kepada kebenaran. Hal ini merupakan pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide, sehingga mesti dikembalikan kepada pendapat yang tepat, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa makin bertambahnya jumlah para penguasa maka negara menjadi lemah, dan setiap kali berkurang jumlah mereka maka negara menjadi kuat.

Ketiga contoh tadi tergolong pada jenis pendapat yang menghantarkan pada suatu ide (pemikiran). Dalam contoh tersebut jelas bahwa fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitasnya. Meski ketiga contoh tersebut menghasilkan berbagai aktivitas, akan tetapi pembahasannya tidak masuk pada aktivitasnya melainkan kepada fikrah (ide). Terungkapnya fikrah tersebut akan menghantarkan pada dilaksanakan atau tidaknya suatu aktivitas, atau akan dilaksanakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh fikrah yang telah dibahas. Jadi, pembahasannya adalah agar tercapainya suatu pendapat tentang sebuah topik, atau sampainya pada suatu ide tentang topik tersebut. Apabila suatu ide telah tercapai, barulah ditentukan aktivitasnya berdasarkan ide yang telah dicapai dalam pembahasan tadi. Dengan demikian pendapat yang telah dibahas ini tidak menghantarkan pada suatu aktivitas secara langsung, melainkan menghantarkan kepada suatu ide. Kadangkala ide yang telah tercapai menghasilkan pelaksanaan aktivitas. Berarti keberadaannya sebatas pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide. Sedangkan pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, topik pembahasan di dalamnya adalah pelaksanaan suatu aktivitas tanpa memandang lagi pada topik yang bisa menghasilkan aktivitas tersebut. Jadi, fokus pembahasannya adalah pelaksanaan suatu aktivitas, bukan topiknya. Yang diinginkan dari pembahsan ini adalah dilaksanakannya suatu aktivitas atau tidak, atau pelaksanaannya harus disandarkan pada sifat-sifat tertentu. Yang diinginkan dari pembahasan itu bukanlah berupa sebuah topik. Tatkala yang diinginkan adalah pemilihan seorang khalifah dan pembaitannya, maka di dalamnya tidak dibahas topik apakah khalifah itu fardhu atau mandub? Juga tidak dibahas apakah yang dipilih itu seorang presiden atau khalifah? Yang dibahas di sini adalah apakah si fulan dipilih dan dibaiat, atau si fulan itu memilih dan membaiat? Ketika dibahas tentang pengambilan hutang untuk negara, maka tidak dibahas tentang boleh tidaknya mengambil hutang. Yang dibahas adalah apakah pinjaman tersebut diambil atau tidak? Ketika membahas pembukaan suatu jalan, maka tidak dibahas apakah boleh membuka jalan tersebut sementara masih ada jalan lain yang menggantikan posisinya, atau tidak boleh? Yang perlu dibahas adalah apakah jalan tersebut dibuka atau tidak? Jadi yang dibahas aktivitasnya itu sendiri dilihat dari sisi dilaksanakan atau tidak. Tidak membahas tentang topik yang bisa menghasilkan aktivitas, karena hal itu adalah pendapat yang menghantarkan pada suatu ide. Pembahasannya bukan tentang topiknya. Pembahasannya adalah tentang pelaksanaan suatu aktivitas, atau yang menghantarkan kepada suatu aktivitas. Maka pendapat tersebut direkomendasikan agar aktivitas tersebut dapat dijalankan secara langsung. Contohnya ketika Abu Bakar berkonsultasi dengan kaum muslimin tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah beliau. Ini adalah pembahasan mengenai pemilihan seorang khalifah, yaitu apakah mereka memilih si fulan atau si fulan. Pembahasannya sama sekali bukan mengenai kekhilafahan. Pembahasannya tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas. Contoh lain, ketika berakhirnya kesepakatan untuk tahkim antara Muawiyah dan Sayyidina Ali terjadilah pembahasan mengenai pemilihan hakam (juru runding) dari pihaknya Sayyidina Ali. Sayyidina Ali memilih Abdullah bin Abbas r.a. akan tetapi mayoritas orang memilih Abu Musa al Asy’ari. Ini adalah pembahasan mengenai pemilihan orang yang layak menjadi hakam, bukan pembahasan mengenai topik penerimaan tahkim. Berarti termasuk pembahasan mengenai pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas. Sebagai contoh, apabila jumhur kaum muslimin saat ini berpendapat agar mendirikan pabrik-pabrik raksasa (industri berat) untuk memproduksi seluruh peralatan dan perlengkapan (perang) agar memungkinkan mereka melengkapi semua unsur negara selaku shahibatu ar risalah (pengemban risalah Islam), sementara para penguasanya berpendapat bahwa (lebih layak) mendirikan bendungan-bendungan dan mensubsidi pertanian untuk meningkatkan taraf hidup para petani. Ini adalah pembahasan tentang apakah (hendak) mendirikan pabrik-pabrik raksasa ataukah membangun berbagai bendungan, bukan pembahasan tentang apakah wajib bagi negara selaku shahibatu ar risalah atau tidak wajib. Hal ini termasuk pembahasan mengenai pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas.

Itulah tiga contoh mengenai pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas. Pada contoh tersebut jelas bahwa fokus yang dibahas adalah aktivitasnya bukan topiknya. Aktivitas-aktivitas tersebut sekalipun dihasilkan oleh berbagai topik yang ada, akan tetapi pembahasannya tidaklah mendominasi pelaksanaan terhadap suatu aktivitas. Berarti pembahasannya tentang aktivitas bukan ide.

Berdasarkan penjelasan dan contoh tadi jelas bahwa di sana terdapat perbedaan antara pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, meskipun perbedaan tersebut sangat tipis yang memerlukan perenungan dan kedalaman pandangan. Ini semuanya berkaitan dengan kesamaran yang mungkin terjadi dalam membedakan antara pendapat yang menghantarkan pada suatu ide dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas. Adapun yang berkaitan dengan kesamaran yang terdapat dalam perbedaan antara peristiwa Badar dan peristiwa Uhud, maka kadangkala orang mengatakan tidak ada bedanya antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Lalu mengapa peristiwa Badar dianggap bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide, sedangkan peristiwa Uhud dianggap bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, sementara masing-masing dari peristiwa tersebut adalah sama-sama pergi ke medan (perang), tidak terdapat perbedaan antara keduanya? Jawaban terhadap hal ini adalah, bahwa di sana terdapat perbedaan yang jelas antar dua peristiwa tersebut. Fakta tentang peristiwa Badar berbeda dengan fakta tentang peristiwa Uhud. Peristiwa Uhud adalah (membahas) apakah mereka keluar (kota Madinah) atau bertahan? Dalam peristiwa itu terdapat semangat dan rasionalitas, bukan membahas tentang tempat peperangan. Oleh karena itu kita jumpai bahwa Rasul saw.-lah yang mengatur (taktik) militer di tempat yang strategis di atas gunung Uhud. Beliau sendiri ynag mengaturnya dan menempatkan para pemanah berada di belakang yang menyuruh mereka agar tidak turut (turun ke bawah untuk) menyerang. Dalam hal ini beliau tidak mengikuti pada pendapat kelompok. Sedangkan fakta tentang peristiwa Badar, pembahasannya adalah pengaturan militer pada tempat yang strategis. Dalam hal ini Rasulullah kembali pada pendapat yang tepat (benar). Ini dari satu sisi. Dari sisi lain dalil mengenai hal ini bukan perbuatan Rasul saja, melainkan perbuatan dan perkataan beliau, yaitu sabda Rasul saw., “Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.”

Tinggal satu masalah lagi yaitu, siapa yang berhak menjelaskan hal yang lebih tepat (benar) sehingga pendapatnya adalah pendapat yang rajih? Kita telah mengetahui bahwa hukum-hukum syara’ dapat di-rajih-kan oleh kekuatan dalil. Dan pendapat-pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas di-rajih-kan oleh pendapat mayoritas. Sedangkan pendapat yang menghantarkan kepada ide (pemikiran) dan perkara-perkara yang bersifat teknis termasuk (penyusunan) definisi (ta’rif), semuanya di-rajih-kan menurut aspek yang (lebih) benar (tepat). Kita tinggal mengetahui siapa yang menjelaskan pendapat yang benar (tepat) sehingga pendapatnya rajih? Jawaban atas hal ini bahwa yang men-tarjih pendapat yang benar adalah shahibu ash shalahiyat (orang yang memiliki wewenang) dalam masalah tersebut, yakni amir al qaum, maksudnya pemimpin suatu kaum. Dialah yang bermusyawarah dengan jamaah. Ketika berlangsung musyawarah dengan suatu jamaah antar sesama mereka, hal itu dilakukan dalam rangka mencapai suatu pendapat yang akan mengarahkan perjalanan mereka. Dan perjalanan sebagai suatu jamaah di dalam suatu perkara mengharuskan atas mereka adanya seorang amir. Dialah yang memiliki wewenang dalam perkara yang di dalamnya dilakukan musyawarah. Jadi, yang men-tarjih pendapat yang benar (tepat) hanyalah amir mereka. Dalilnya adalah ayat, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah” (Q.S. Ali Imran [3]: 159).

Musyawarah pernah terjadi pada masa Rasul, dan beliau bertindak selaku pemimpin kaum muslimin. Allah telah menetapkan perkara tersebut pada beliau setelah melakukan musyawarah, melaksanakan apa yang diputuskannya, dan apa yang yang dipandangnya sebagai pendapat yang benar. Maka keberadaannya adalah sebagai murajih (orang yang mengutamakan) pendapat yang benar. Demikian juga halnya dengan seluruh pemimpin suatu kaum. Sebab, musyawarah ini bukan dikhususkan bagi Rasul saja, melainkan berlaku umum bagi seluruh kaum muslim. Karena seruan (khitab) bagi Rasul adalah seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam perkara ini tidak ada satu dalil yang mengkhususkannya hanya untuk Rasul. Jadi, keberadaannya berbentuk umum.

Apabila suatu jamaah tidak memiliki seorang pemimpin, kemudian jamaah tersebut ingin memilih siapa yang berhak melakukan tarjih tentang aspek yang benar (tepat), maka dalam kondisi ini diwajibkan bagi jamaah untuk memilih satu orang saja yang diberikan hak pen-tarjih-an (tentang) aspek yang benar (tepat) tadi. Dan tidak boleh bagi mereka memilih lebih dari satu orang dilihat dari sisi manapun. Karena pen-tarjih-an aspek yang benar (tepat) tidak dilakukan kecuali oleh satu orang saja. Memang benar  bahwa pendapat mayoritas kadangkala menggambarkan aspek yang benar (tepat). Selain itu dua orang kadangkala memiliki pendapat yang benar, di samping tentu saja dua orang dianggap lebih dari satu orang. Namun, masalahnya bukanlah terletak pada kemampuan mana aspek yang benar (tepat), melainkan siapa yang me-rajih-kan aspek yang benar (tepat), apakah satu orang? Ataukah dua orang? Tidak berlaku penerapan terhadap mayoritas, karena pendapat mayoritas tidaklah benar. Lagipula keduanya merupakan dua perkara yang saling berhadap-hadapan, yaitu beramal dengan (pendapat) mayoritas tanpa memandang aspek yang benar (tepat), dan beramal dengan aspek yang benar (tepat) tanpa memperhatikan (pendapat) mayoritas.

Yang harus me-rajih-kan aspek yang benar (tepat) itu hanya satu orang saja, tidak boleh lebih dari satu orang. Ada beberapa sebab, di antaranya adalah :

1. Bahwa realita aspek yang benar wajib menjadikan pen-tarjih hanya satu orang saja karena jika dibiarkan pen-tarjih-an itu dilakukan oleh dua orang, tiga atau lebih, tidak mungkin terjadi kecuali muncul perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat mereka akan memaksa untuk kembali pada masalah tahkim. Apabila mereka ber-tahkim kepada dua orang, maka tetap saja masih terjadi silang pendapat di antara mereka sehingga proses tahkim kembali kepada salah satu dari keduanya. Dengan demikian tahkim akhirnya tetap kembali kepada satu orang. Jika tahkim kepada tiga orang tentu terjadi silang pendapat di antara mereka, sehingga tahkim kembali kepada dua orang atau satu orang? Apabila mereka kembali kepada dua orang, maka mereka kembali kepada pendapat mayoritas, sementara yang diharapkan adalah kembali kepada aspek yang benar (tepat). Dengan demikian mereka wajib kembali kepada satu orang saja. Oleh karena itu pengembalian perkara tahkim tetap kepada satu orang. Artinya, orang yang melakukan pen-tarjih-an aspek yang benar itu jumlahnya hanya satu orang saja. Dua orang, tiga atau lebih akan menghasilkan perbedaan pendapat. Jadi, tahkim tidak dapat dilakukan selain (dikembalikan kepada) satu orang. Sebab, jika tahkim (diserahkan) selain dari satu orang maka sama saja dengan tahkim terhadap (pendapat) mayoritas, bukan terhadap aspek yang benar. Maksud dari pen-tahkim-an aspek yang benar tidak sama dengan maksud pen-tahkim-an (pendapat) mayoritas.

2. Bahwa prinsip pen-tarjih-an aspek yang benar tidak diberikan kecuali hanya kepada shahibu ash shalahiyat (orang yang memiliki wewenang). Dan hanya pada satu orang saja, yaitu pada seorang amir atau pemimpin. Dia selaku orang yang menjalankan perkara. Apabila musyawarah telah berlangsung, maka hanya dia satu orang (yang melaksanakan perkara itu). Sebab, jika dua orang pasti terjadi silang pendapat mengenai uslub-uslub pelaksanaannya. Silang pendapat tentang pelaksanaannya terus berlanjut tanpa kendali. Orang yang memiliki wewenang hanya satu (tunggal). Oleh karena itu orang yang men-tarjih aspek yang benar harus berjumlah satu orang saja.

3. Sesungguhnya perkara yang sangat besar di kalangan kaum muslim adalah khilafah (markaz al khilafah). Syariat Islam telah memberikan hanya kepada (seorang) khalifah saja seluruh wewenang pen-tarjih-an suatu hukum atas hukum lainnya dalam rangka pengadopsian berbagai hukum. Penentuan kebijakannya berdasarkan kekuatan dalil, dan telah diberikan baginya hak dalam pen-tarjih-an aspek yang benar. Hanya dia (khalifah) yang memiliki hak mengumumkan perang, perjanjian damai, pembatasan hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir, dan lain-lain yang termasuk ke dalam wewenang seorang khalifah. Tentang pemeliharaan seluruh kepentingan umat juga ditentukan oleh khalifah berdasarkan pendapatnya semata. Apa yang dipandangnya benar akan dijalankannya. Hal ini telah terbukti berdasarkan ijma’ sahabat. Terhadap perkara yang lebih rendah dari aktivitas yang amat penting ini –yaitu aktivitas seorang khalifah– jauh lebih utama di-rajih-kan oleh satu orang saja.

Itulah perkara tentang musyawarah. Yaitu tentang pengambilan berbagai pendapat. Inilah hukum syara’ mengenai masalah tersebut. Hukum tersebut berbeda atau bertentangan secara mendasar dengan hukum demokrasi. Dan hukum Allah adalah satu-satunya yang haq (benar), yang menjadi prinsip dalam pengambilan pendapat (musyawarah). Sedangkan yang lainnya dan tergolong dalam prinsip demokrasi yang batil, tidak boleh diambil. Wallahu a’lam bisshawab.

                

        kembali