Hukum

            MAJALAH  DIALOG

                                   HUKUM

ISTAC: ISLAMIC THOUGHT AND CIVILIZATION

Home     Politik    Ekonomi    Sosial    Pendidikan   Realitas    Atsaqofiyah    Berita

TRANSAKSI DUA HARGA

 

Transaksi kredit sebagai salah satu bentuk perdagangan yang dibolehkan oleh syara’ selama tidak mengandung unsur riba, tadlis (penipuan), al-ghobnu (manipulasi harga), tariff dan distorsi pasar. Sehingga boleh bagi pemilik komoditi membuat dua harga untuk komoditinya, harga yang dibayar seketika, dan harga yang pembayarannya ditangguhkan sampai masa tertentu, atau dengan harga kredit untuk beberapa waktu. Untuk itu, seorang penjual boleh tawar-menawar dengan seorang pembeli, di antara dua harga yang diterima pembeli dan boleh seorang pembeli tawar-menawar dengan seorang penjual, di antara dua harga itu yang diterima penjual. Semuanya ini merupakan tawar-menawar tentang harga, bukan tentang jual-beli. Apabila keduanya sepakat atas harga tertentu, dan penjual menjual pada pembeli dengan harga kontan lalu pembeli menerimanya, atau penjual menjualnya dengan harga kredit, lalu pembeli menerimanya. Itu semua sah, sebab ia merupakan penawaran atas harga bukan jual-beli, sedangkan tawar-menawar boleh, karena Rasulullah saw. pernah menawar. Diriwayatkan dari Anas, Bahwa Nabi saw menjual anak panah dan alas pelana dengan tawar-menawar.”

Di sini terdapat dalil bahwa Nabi saw. pernah menawar, sehingga boleh bagi negara dan individu-individu dalam masalah transaksi kredit saling menawar antara penjual dan pembeli atas harga barang, baik pembayaran langsung atau ditangguhkan. Harga barang yang dibelinya dengan pembayaran yang ditangguhkan lebih besar dari pembayaran langsung, serta dicatat pada surat promes (promissory note) dengan harga yang ditangguhkan. Begitu juga boleh bagi mereka membeli barang dengan dua harga, yang salah satunya kontan, dan yang lain kredit. Kalau seorang pembeli berkata kepada seorang penjual, aku beli barang ini secara kontan dengan harga lima puluh dan secara kredit dengan harga enam puluh, lalu penjual berkata aku jual secara kredit dengan harga enam puluh, maka sah jual-beli itu. Begitu juga, kalau seorang pembeli berkata kepada penjual, aku beli barang ini secara kredit dengan harga enam puluh dengan tambahan sepuluh atas harga aslinya yang secara kontan, sebab tertundanya pembayaran harga, lalu penjual berkata, aku terima, maka jual-beli ini pun juga sah. Maka fasilitas kredit, apabila terjadi atas bentuk ini, dan melalui cara ini, yakni tidak ada transaksi riba dan larangan lain pada aspek lainnya seperti manipulasi harga (al-ghobnu), maka itu sah bahwa transaksi kredit merupakan transaksi jual-beli yang dihalalkan.

Namun demikian yang dimaksudkan dengan dua harga adalah bukan harga dalam lingkungan korporasi sendiri, bahkan walaupun dalam lingkungan korporasinya sendiri merupakan satu harga. Semisal orang mengatakan barang dia jual dengan harga 300 % baik dengan kontan maupun kredit harganya sama, tetapi kalau ternyata di pasar normal harga tersebut berbeda, katakanlah hanya 100 % maka berarti orang tersebut menjual dengan dua harga, bukan satu harga: harga pertama adalah harga pasar dan harga kedua adalah harga yang dia tetapkan. Standar harga diukur dengan harga kontan dan harga kredit menurut harga pasar yang normal, bukan pasar di lingkungan korporasi sendiri, bukan pula pasar yang didistorsi oleh berbagai penyimpangan pasar seperti monopoli, oligopoli, kartel, konglomerasi dan lain sebagainya. Sebab manipulasi harga (al-ghobnu) dalam pandangan hukum syara’ diharamkan.

Bolehnya dalam transaksi jual-beli membuat dua harga terhadap satu komoditi; harga dengan pembayaran langsung, dan harga dengan pembayaran yang ditangguhkan, yakni harga kontan dan harga kredit berdasarkan keumuman dalil-dalil tentang bolehnya transaksi jual-beli. Allah swt berfirman, “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (Q.S. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini pengertiannya umum. Meski terdapat nash syara’ yang mengharamkan jenis tertentu di antara transaksi jual-beli, semisal jual-beli ghoror, karena memang terdapat nash yang mengharamkannya, namun transaksi jual-beli secara umum tetap halal. Keumuman firman Allah swt., Dan Allah telah menghalalkan jual-beli” (Q.S. Al-Baqarah: 275) mencakup semua jenis jual-beli, bahwa transaksi jual-beli itu halal, kecuali jenis-jenis yang terdapat nash yang mengharamkannya, maka ia menjadi haram berdasarkan nash yang mengecualikan dari keumumannya. Namun, tidak terdapat nash yang mengharamkan membuat dua harga atas komoditi harga kontan dan harga kredit. Dengan demikian transaksi ini halal berdasarkan umumnya ayat. Dan juga Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya prinsip jual-beli itu adalah suka sama suka (HR. Ibnu Majah dari Abi Said di dalam Zawaid disebutkan isnad-nya shahih, para perawinya tsiqqah. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)

Dua orang yang berjual-beli di sini punya hak khiyar. (Tuntutan memilih di antara dua hal dalam jual beli, yakni dilanjutkan transaksi atau dibatalkan), dan  transaksi jual-beli ini selesai dengan kerelaan keduanya. Jumhur fuqaha' menetapkan bolehnya transaksi jual-beli sesuatu dengan harga lebih tinggi dari harga kontannya (si’ru yaumihi) pada harga yang ditangguhkan, yakni tertunda pembayarannya. Diriwayatkan dari Thawus, al-Hakam, dan Hammad bahwa mereka berkata tidak mengapa seorang berkata, “Aku jual kepadamu secara kontan sekian, dan secara kredit sekian, lalu berakhir dengan salah satu dari keduanya.”

Ali r.a. berkata, “Siapa saja yang menawar dengan dua harga, salah satunya kontan dan yang lain kredit, maka hendaknya dia memilih salah satunya sebelum berlangsung kesepakatan.”

Dari itu jelas bahwa penawaran dengan dua harga atas komoditi, lalu dilakukan transaksi atas salah satunya dengan kerelaan keduanya adalah mubah. Transaksi jual-beli dengan cara yang seperti itu adalah sah. Sebagaimana diketahui bahwa melakukan penawaran transaksi atas dua harga, dan menerimanya pembeli dengan salah satu dari dua harga itu menjadi penjelas dan penentu, maka ia pun juga boleh berdasarkan umumnya dalil-dalil, dan tidak adanya nash yang mengharamkan jenis di antara transaksi jual-beli ini. Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Nabi saw. melarang adanya dua kesepakatan dalam satu transaksi.”

Maksud dari hadits itu adalah adanya dua perjanjian dalam satu akad. Seperti seorang berkata: aku jual rumahku ini padamu, saat aku jual rumahku yang lain padamu dengan sekian, atau saat kamu menjual rumahmu padaku, atau saat kamu menikahkan anak perempuanmu dengan aku. Maka transaksi ini tidak sah. Sebab perkataan aku jual rumahku padamu adalah satu akad, dan perkataan saat kamu menjual rumahmu padaku adalah akad kedua, lalu keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi, maka ini tidak boleh. Hadits itu tidak bermaksud melarang tambahan harga karena tertangguhnya masa pembayaran. Dan tidak menjadikan penawaran atas dua harga, serta penerimaannya atas salah satunya sebagai penentu.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan dua transaksi penjualan dalam satu transaksi penjualan, maka baginya kerugian keduanya atau riba.”

Artinya terjadi dua transaksi penjualan terhadap komoditi. Semisal seorang menjual komoditi dengan harga yang ditangguhkan, ketika tiba masa pembayarannya, namun tidak dibayarnya, maka penjual memberi tangguh lagi pada waktu yang lain dengan tambahan atas harga yang ditentukan, yakni ditambahnya harga komoditi itu karena ditangguhkan lagi pada waktu lain, dengan demikian terjadi dua transaksi penjualan dalam satu transaksi penjualan. Atau seorang menjual komoditi dengan harga tertentu lalu pembeli meminta penangguhan pembayarannya hingga waktu tertentu penjual menerimanya, dan komoditi itu dijualnya dengan harga yang ditambah hingga masa yang ditentukan, yakni harganya ditambah dan waktunya ditangguhkan. Contoh-contoh ini dan yang semisalnya merupakan dua transaksi penjualan dalam satu transaksi, sehingga bagi keduanya kerugian, yakni pengurangan keduanya, yaitu harga yang pertama.

Terdapat dalam syarah as-Sunan, karya Ibnu Ruslan ketika dia menafsirkan  hadits ini. “Seorang meminjam dinar, dalam waktu sebulan dia akan memberinya 16 kg biji gandum, ketika tiba masanya dan gandumnya diminta, dia berkata juallah padaku 16 kg biji gandum milikmu yang ada padaku dalam jangka waktu dua bulan aku akan memberimu 32 kg, maka jadilah hal itu dua transaksi penjualan dalam satu transaksi, sebab transaksi penjualan yang kedua telah termasuk pada yang pertama, sehingga yang dimaksud dengan kerugian keduanya adalah yang perlama.”

Meskipun dikatakan dalam menafsirkan hadits ini, dimana pemikiran dan pemahamannya (manthuq dan mafhum) menjelaskan terjadinya dua transaksi penjualan dalam satu transaksi, yakni terjadinya dua akad penjualan dalam satu akad, namun ia tidak terjadi pada dua harga dalam satu akad, dan ia juga bukan satu akad atas dua harga, sehingga tidak dapat diterapkan atas transaksi jual-beli dengan hutang, yakni tidak dapat diterapkan atas fasilitas kredit, yang maksudnya adalah pembelian dengan harga yang ditangguhkan lebih besar dari harga yang dibayarkan langsung.

Dengan demikian transaksi kredit itu mubah sebab ia termasuk perdagangan. Ia masuk dalam hukum-hukum jual-beli, dan tidak masuk dalam hukum-hukum hutang, sebab ia pembelian komoditi dengan harga yang ditangguhkan, yakni dengan kredit. Sehingga diterapkan atasnya hukum-hukum jual-beli dengan kredit, dan boleh harga kredit bertambah dari harga kontan, dan tambahan ini tidak dianggap riba. Transaksi kredit ini boleh untuk negara sebagaimana boleh untuk individu-individu. Maka transaksi kredit dilihat dari aspek realitasnya adalah perdagangan dan dari aspek akad ia merupakan akad jual-beli bukan akad hutang-piutang.

Dengan demikian, fasilitas kredit, tidak sama dengan hutang. Hukum syara’ terhadap masalah ini adalah hukum syara’ menyangkut jual-beli dengan harga yang ditangguhkan. Berbeda dengan hutang, yaitu mengambil harta sebagai hutang untuk waktu tertentu, baik yang diambil itu mata uang asing atau mata uang lokal, atau mengambil barang dengan harga, dan harga itu dicatat sebagai hutang untuk masa tertentu, maka semuanya itu adalah hutang.

Namun demikian tambahan harga juga tidak boleh melebihi kewajaran yang dapat dikategorikan manipulasi harga (al-ghobnu), karena manipulasi harga juga diharamkan. Di samping larangan riba dan la-ghobnu dalam jual-beli masih ada lagi yang harus dihindarkan yaitu masalah penipuan komoditi (tadlis), penimbunan, penentuan tarif dan penyimpangan pasar. Jadi tidak cukup hanya dengan kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli, tetapi juga harus memperhatikan hukum syara’ pada aspek-aspek yang lain, sebab kerelaan terhadap sesuatu yang diharamkan adalah batal. “Kullu syartin laisa fi kitabillah fahua batilun.” Wallahu a’lam bisshawab.

                kembali